Month: June 2008

Pelatuk Ayam Dan Waktu Yang Berhenti

Apa lagi yang harus aku katakana sayang? Kata-kataku sudah habis terbakar bara dalam dada. Puisi pun tak mampu mewakili keindahanmu. Apa yang diberikan oleh Tuhan yang bernama akal logika berhenti saat itu juga. Bahkan waktu. Membeku saat mata kesadaran jatuh di pelupuk tubuhmu. Ah…kau! Engkau yang hanya seekor burung pelatuk!!!

What the F**** !

Yes this is very F*** mister….

Mungkin empat huruf itu sudah sangat mewakili deru jantungku saat melihat burung satu ini. Pelatuk ayam (Dryocopus javensis) yang sebenarnya nggak mirip-mirip banget dengan ayam. Apalagi bebek.

Bagaimanapun juga pertemuan yang hanya sesaat ini, yang tidak lebih dari 5 detik, bisa jadi adalah sebuah loncatan kuantum atom-atom dalam tubuhku yang saat itu juga langsung memerintahkan tanganku untuk segera mengangkat Nikon D200 di tangan dan mengarahkannya ke sasaran. Tanpa berpikir, tanpa beranalisis, apalagi pake bikin table dan grafik logical frame work. Langsung jepret…jepret…jepret… Dan waktu pun berhenti. Berhenti sampai detik ini juga.

Pertemuan 5 detik itu pun membeku dalam frame Nikon D200-ku dan akan terus abadi. Apa yang dikatakan Einstein tentang waktu yang melambat mungkin ada benarnya. Bahkan waktu yang berhenti bisa sangat mungkin terjadi.

Ah..Ternyata Alam Semesta Masih Sedang Bekerja

Burung apa yang paling gagah? Jawabku sudah pasti elang. Dan elang apa yang paling ganteng? Tidak lain (menurutku sih) si perut putih. Haliaeestur leucogaster si penguasa laut. Bahkan bagi para kebanyakan nelayan dia dipercaya sebagai burung garuda symbol Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Setiap kali aku pergi ke daerah pesisir, aku selalu berharap ketemu sama burung ini. Dalam bentuk pertemuan apapun. Terbang, tengger atau bahkan ngising-pun aku bersedia. Saking kepinginnya ketemu dengan dia sampai-sampai julang emas di pulau sempu aku kira elang laut perut putih, dan itu tidak sekali, tapi berulang kali. Memang cinta bisa membutakan segalanya.

Kekaguman ini berawal dari sebuah foto yang ada di sekretariatnya anak-anak Silva Gama, kelompok PA di fakultas Kehutanan tempat aku kuliah dulu. Rentangan sayapnya yang panjang, ukuran tubuhnya yang gagah nan seksi dan paruhnya yang terkesan kokoh, bahkan lebih dari semen Holchim. Itulah foto burung pertama yang meluluhkan hati seorang pujangga hina kelana.

Dan apa yang terjadi di disini, di pantai Bama Taman Nasional Baluran, adalah mukjizat eh bukan tapi qudrah yang diturunkan Tuhan. Aku tidak hanya melihat kepakan sayapnya yang menggetarkan udara mengalahkan angin darat yang menderu, tapi aku juga melihat bagaimana dia menyambar mangsanya. Dan yang lebih hebat lagi aku bisa menangkapnya dalam frame Nikon D200 di tangan yang sampai saat ini masih punya kantor.

Gila man! Aku dapat fotonya! Dan kalo boleh jujur (kalo tidak bisa dikatakan memuji diri sendiri) foto ini jauh lebih bagus dan lebih mahal dari foto elang laut perut putih di secretariat anak-anak Silva Gama.

Ternyata aku baru sadar bahwa kekaguman tidak lain adalah doa yang paling tulus dan jujur dalam hati. Dan…ah, ternyata alam semesta masih sedang bekerja.

Alam Semesta Yang Sedang Bekerja

Salah satu keyakinan yang sampai saat ini aku pegang adalah “bahwa setiap keinginan pasti akan terkabul” meskipun dengan cara dan porsi yang tidak kita perhitungkan. Dan kalimat-kalimat itulah yang hampir selalu aku katakan kepada temen-temen yang aku cintai:”Bermimpilah karena alam semesta akan mengintip mimpi-mimpimu dan meng-komandoi seluruh elemen alam semesta untuk segera bekerja mendukung mimpi-mimpimu!”

Dulu sewaktu kecil aku suka manjat ke atas genting rumah dan memandangi hutan-hutan pegunungan yang mengelilingi kota kecilku. Sampai SMA aku tinggal di kota Batu, kota kecil yang dikelilingi gunung-gunung. Gunung Arjuna di sebelah utara, jajaran pegunungan Biru dan gunung Banyak di sebelah barat, gunung Panderman dan gunung Kawi di sebelah selatan. Agak jauh ke timur ada pegunungan Tengger-Bromo-Semeru.

Melihat hutan-hutan pegunungan yang selalu hijau sepanjang tahun dan mosaik ujung-ujung kanopi selalu membuatku merasa damai. Seandainya aku bisa hidup di dalam hutan-hutan yang tenang itu, pikirku dalam hati. Pernah suatu hari aku, saking kepinginnya berdiri di puncak gunung Panderman, menyisir curah (sungai tadah hujan) di sebelah barat rumah yang berujung di curah Sapi di gunung Panderman.

Bebatuan sebesar anak kerbau aku terjang, juluran tangkai berduri mimosa sp tidak aku pedulikan, demi gunung Panderman, bahkan aku tidak berpikir jauhnya jarak yang harus aku tempuh untuk sampai ke sana. Tapi tanpa dikira, dari arah depan, tiba-tiba muntahan air menerjang ke arahku. Segera saja aku mengambil ancang-ancang bersembunyi di balik sebuah batu besar biar tidak terhempas atau minimal tidak kecripatan. Memang benar sih batu besar itu melindungi aku dari hempasan air yang menerjang tanpa ampun, tapi dia tidak bisa melindungi aku dari dari cipratan yang sebenarnya tidak bisa dikatakan kecipratan lha wong seluruh badan basah semua dari air yang ternyata adalah air buangan dari sebuah peternakan sapi besar di atas curah.

Praktis seluruh badanku bau teletong sapi. Waktu itu sekitar jam 7 pagi. Pada jam-jam segini biasanya para pekerja di peternakan sapi membersihkan kandang dari telethong sebelum sapi-sapi itu diperas susunya. Kebanyakan peternakan sapi itu berada di kampung yang bernama Pentil. Kampung paling ujung di kaki gunung Panderman yang dulunya terkenal paling ndesa tapi sekarang seperti disulap menjadi tanah impian semenjak dibangun lokasi wisata Kusuma Agro Wisata. Pengalaman pertamaku menjelajahi alam terhenti gara-gara air buangan telethong dari kampung paling ndeso bernama Pentil.

Ingatan-ingatan ini muncul lagi begitu diterima jadi PNS (hehehe…) dan ditempatkan di Taman Nasional Baluran. Diposisikan sebagai staff fungsional Pengendali Ekosistem Hutan sudah pasti akan memaksa aku banyak bergumul dengan alam liar Baluran yang memang benar-benar liar. Udara panas, tanaman berduri, batuan cadas, tanah keras ketika kering-lengket kalau basah, nyamuk, dan kebakaran tidak lain adalah Baluran itu sendiri. Ternyata keinginan yang aku deklarasikan di atas genting rumah waktu kecil itu terkabul, meski dengan porsi dan cara yang diluar perhitungan kita. Karena selain aku dulu ingin tinggal di hutan tropis pegunungan dulu aku juga gak kepingin jadi PNS tapi jadi aktifis lingkungan yang keluyuran dari negara satu ke negara lainnya. Tapi itulah alam semesta yang sedang bekerja.