Sekilas kalau dilihat dari depan, rumah ber-cat biru kusam itu tidak ada yang istimewa. Sebuah rumah tua yang sudah mulai terkena penyakit komplikasi, bocor waktu hujan, berdebu saat kemarau, belum tikus, kodok dan ularnya yang ting sliweran. Bahkan ketika anda masuk ke dalamnya, menjelajahi sudut-sudut ruangnya, anda tidak akan menyangka kalau di rumah reyot itu berdiri sebuah institusi yang bernama keluarga besar kutilang.
Sebuah rumah yang ditinggali tidak kurang dari 15 anak muda yang tidur dalam dua kamar seukuran 3×3 m persegi (kalau pas lagi rame-ramenya).
Sebuah rumah sangat sederhana tempat sebuah LSM yang sering diabaikan namun sangat diperhitungkan dalam dunia konservasi burung negeri ini berdiri. Dengan kaki-kaki seadanya. Dan kaki-kaki itu yang bernama semangat!
Jika anda adalah seorang ambisius yang mengidentikkan waktu dengan uang dan harta berlimpah saya sarankan jangan sekali-kali masuk rumah bernomor 64A itu. Karena orang-orang yang bekerja di dalamnya tidak untuk mencari gaji apalagi colongan proyek, kalau THR oke-lah.
Jika anda adalah seorang yang sangat higienis saya sarankan juga jangan coba-coba mampir, membayangkan pun jangan. Sebab anda akan menemukan abu rokok dimana-mana, sempak jamuran nyantol di tembok-tembok. Bahkan untuk mencuci piring dan gelas masih harus buat rapat besar siapa yang mencuci, kapan dan memakai metode apa.
Tapi jika anda adalah seorang ilmuwan, ilmuwan dalam arti yang sebenar-benarnya ilmuwan yaitu orang yang mengabdikan hidupnya untuk mencari dan mencari ilmu bolehlah anda sejenak mampir. Kalu jijik dengan kodok atau alergi asap rokok cukup di ruang tamu saja tidak mengapa.
Bekerja di rumah tua itu mungkin anda tidak akan mendapatkan gaji yang memuaskan untuk mencicil motor, tapi di tumah tua itu anda akan mendapatkan gaji yang jauh lebih berharga dari sekedar uang: ilmu dan keluarga. Dan itulah alasan utama saya kenapa saya rela bertahan disana, sampai akhirnya Negara memanggil untuk mengemban tugas menyelamatkan hutan negeri ini yang sudah semakin rusak.
Orang-orangnya pun sangat tidak terkenal dan tidak pernah diperhitungkan dalam kancah keperburungan meskipun ketinggian ilmu mereka layak menyandang gelar Empu Ornithology.
Batak yang selalu riang gembira menemaniku hunting foto burung. Dan pada akhirnya dia juga yang paling sengit kalau melihat foto-foto burungku. Sengit adalah ungkapan cemburu karena cinta yang paling tulus tapi liar.
Kampret yang sok lugu tapi orang paling bertanggung jawab merangsang temen-temen ngumpulin foto burung.
Tikus yang kelihatannya hitam tapi memang hitam bahkan hitam legam, yang selalu haus petualangan dan hal-hal baru.
Maswa sang penemu sarang burung yang selalu berujung pada kefanaan. Bagaimanapun juga Tuhan mempunyai cara kreatif dalam menguji hamba-hambaNya.
Naring yang paling suka diajak diskusi, karena memang dasarnya ngeyelan, kedua setelah Ige. Semoga Tuhan segera mempertemukan dia dengan sang kekasih hati.
Surip yang aku tahu sampai saat ini baru hanya dia orang yang tidak mempunyai keinginan apa-apa dalam hidup, baginya hidup adalah wilayah suhud. Jangan bayangkan, sebab membayangkan ketinggian ilmu seorang sufi seperti sedang memicingkan mata mencari tengkuk sendiri.
Syarifuddin “Bang Bross” Walijo yang katanya Bintang berwajah penting tapi tidak dengan namanya yang pure ndeso. Absolutely fucking nice personality. Ganteng nggak ngganteng, pinter nggak pinter yang penting PD.
Om Fay, orang paling optimis dari semua orang yang kukenal. Saya banyak belajar dari sampeyan.
Om Yogi, si ganteng yang masih saja tidak percaya kalu dia sangat mirip dengan Rano Karno padahal cuma beda tahi lalat di bawah lambe.
Dan yang terakhir Ignatius Kristianto Muladi, yang nanti kalo saya jadi presiden Indonesia maka program 100 hari saya adalah mengganti Jl. Tegal Melati dimana rumah tua itu beralamat menjadi Jl. Tegal Muladi. Sebagai bentuk penghoramatan saya seperti penghormatan negara kepada pahlawan nasional macam Jenderal Sudirman dengan menjadikan nama mereka sebagai nama-nama jalan.
Dan teman-teman lainnya yang tidak sanggup aku ceritakan disini. Kalimat dan kata terlalu sempit untuk mewakili sejarah kita.
Salam untuk kalian semuanya, penghuni Jl. Tegal Muladi 64A. Kalian berada nun jauh disana tapi terdengar sangat dekat, bukan karena pake XL tapi jarak dan waktu bagi kalian dan aku hanyalah tipuan dan jebakan.