“Maunya yakapa orang-orang ini? Sudah jelas undang-undangnya dibuat biar akhlak bangsa ini terselamatkan kok malah diprotes!” gumam seorang lelaki di sebuah warung tempat biasanya aku berbuka puasa. Di tangannya digenggam sebendel koran Jawa Pos, dia membaca dengan seorang lagi di sebelahnya.
“Iyae. Yakapa ini kok kayaknya moral jaman sudah hancur.” Lanjut kawan di sebelahnya.
“Undang-undang apa, Cak?” Tanya ibu penjual penasaran.
“Pornografi, Yuk.”
“Oo…yang nglarang orang mudo itu ta?” Tanya lagi si ibu.
“Ya gak cuma mudo tok, Yuk, tapi mudo yang dipamer-pamerkan di depan orang banyak. Kan bagus kalo peraturan itu dijalankan. Orang jadi gak sembarangan ngumbar auratnya.” Jawab bapak yang satunya lagi.
“Lho berarti yo nglarang awake dewe adus neng kali no?” Tanya si ibu penasaran.
“Yo iku resiko, Yuk!”
“Walah, kudu ndang bikin jeding (kamar mandi) no, Cak?” Tanya ibu lagi.
Di tempat saya bekerja, di Situbondo, kebanyakan orang di sini tidak punya kamar mandi untuk mandi, berak atau mencuci. Kebanyakan mereka memanfaatkan sungai untuk kebutuhan kebersihan badan dan buang hajat. Kondisi ini sudah terjadi sejak dahulu kala sehingga pemandangan orang mandi atau berak di sungai adalah hal yang sangat biasa. Dan sama sekali tidak mengundang syahwat.
Mendengar pembicaraan yang lugas, simple dan membumi itu akhirnya membuat saya pingin nimbrung obrolan.
“Berarti peraturan itu masih belum bisa diterapkan disini dong, Pakde?” pancing saya mencoba mengikutii pembicaraan. Seketika semua menoleh ke arah saya. Saya jadi salah tingkah. Tapi semoga bukan karena GeEr.
“Gak bisa diterapkan gimana, Dik?” balik tanya teman si Bapak.
“Lha yang tadi, sampeyan harus repot-repot buat jeding. Kalau mau buat jeding, berarti sampeyan harus gali sumur atau masang PAM biar jeding-nya gak kering.” Jawab saya.
“Ya kalau cuma buat jeding itu tidak seberapa dibandingkan dengan bagaimana nantinya generasi muda kita kalau gak segera dibuat peraturan ini.” Jawab si bapak.
“Lho emangnya ada apa dengan generasi muda kita, Pakde?” tanyaku, lagi-lagi memancing.
“Lha sampeyan tahu sendiri, anak-anak sekarang sudah kayak gak punya malu. Pake baju ketat, celana ngepres, gandengan laki perempuan ngalor-ngidul gak malu dilihat orang banyak. Malah ada mbak-mbak yang ditato tangannya. Opo gak gendeng jamane?” Jawab si bapak.
“Lha itu siapa yang salah?” tanyaku lagi.
“Ya bapak sama mak e lah. Harusnya mereka bisa mendidik anak-anaknya moral yang baik, bukannya malah dibiarkan anaknya niru budaya orang amerika yang gak punya adat istiadat!” jawab si bapak semangat.
“Lho kok ada amerika-amerikanya?” sindir saya.
“Ya jelas, lha orang semua rusaknya jaman ini berasal dari sana semua. Film porno, film cium-ciuman kan datangnya dari sana.”
“Terus kok bisa nyampe kampunge sampeyan itu lewat mana?” desak saya.
“Ya dari tivi!” jawab dia spontan.
“Yo pancen, tivi iku acarane gak ono sing mendidik. Kalo gak orang tukaran (berkelahi) yo orang ciuman.” Pangkas si ibu tidak mau kalah.
“Nah, berarti yang paling bersalah kan tivi-tivi itu to, Cak..Yuk? La sekarang kalo pas film ciuman sampeyan nonton sama siapa?” lanjutku.
“Ya sama anak-anak…” jawab bapak yang satunya lugas.
“Yo iku masalahnya Pakde! Yang paling bersalah terhadap kerusakan jaman ini ya tivi yang setiap hari sampeyan tonton bareng-bareng keluargane sampeyan. Orang tua generasi muda dan generasi tua kita tidak lain adalah tivi. Tivi itu juga termasuk majalah, koran, poster, radio, komputer, internet, hape atau apa-apa saja yang menyebabkan budayanya amerika sampe kampunge sampeyan. Yang menyebabkan anak-anaknya sampeyan jadi seneng tukaran, seneng nginceng orang mandi, mengganti busana muslimnya dengan kaos ketat, celana ngepres, pacaran… Jadi kenapa undang-undang pornografi itu ditolak nanti takutnya salah sasaran. Orang yang niatnya cuma mandi di kali jadi kena undang-undang contohnya, padahal gak niat ngumbar aurat to?” kok aku jadi banyak bicara ya?
“Lho jadi sampeyan gak setuju dengan peraturan ini, Dik?” tanya si bapak curiga.”Sampeyan agamanya apa seh?
“Lho kok malah tanya agama, Pakde? Saya Islam. Dan saya gak menolak atau mendukung peraturan ini. Saya cuman takut kalo sampai peraturan ini diberlakukan malah menimbulkan mudharat yang lain. Justru itu yang tidak islam. Karena seharusnya pemerintah lebih tahu mana yang harus diatur terlebih dahulu. Peraturan yang dibuat seharusnya lebih spesifik dan tepat sasaran. Karena kalau sembarangan kemungkinannya ada dua: pertama akan menimbulkan gejolak di masyarakat, kedua peraturan itu tidak akan dijalankan sama sekali.” Jawab saya agak membela diri.
“Tapi bagaimanapun juga nasib moral bangsa ini sangat penting, Dik.” Sanggah si bapak.
“Ya memang penting, Pakde. Bahkan sangat penting sekali, makanya jangan sampai membuat hal-hal yang bisa membuat semuanya malah batal, amburadul. Jadi sampeyan setuju dengan undang-undang pornografi yang dibuat pemerintah ini?” tanya saya
“Ya setuju sekali,Dik.”
“Jadi kalau besok 2009 ada pilihan presiden lagi sampeyan tetap milih SBY?” tanyaku menggoda.
“Wegah…bikin ruwet aja!” jawab si bapak sewot.
“Tapi sampeyan tetap bikin jeding to?” tanyaku lagi
“Mboh….”