Comment pertama begitu aku posting “What the Fucking Beautiful Creature” adalah tidak lain dari sahabat kecilku (karena tubuhnya mungil banget hehehee….)
“mas, gak usah pake kata “fucking” itu kali…
kepengaruh bule banged sih?
burungnya udah cantik gitu malah tidak diapreasiasi dengan baik.
iya tau, mas itu saking terkesannya dengan kecantikan burung sampe musti bilang fucking beautiful bird segala. bisa kan pake kata-kata yang biasa aja.., toh secara visual burungnya udah cakep banget.”
Begitu dapet comment begitu, dan dari seseorang yang menurut aku jauh lebih pinter bahasa inggris, spontan saja judul postinganku aku ganti “What the Bajigur Beautiful Creature”. Jadi apa bedanya fuck dan bajigur? Aku nggak tahu!
Tapi yang jelas, apalagi saya pernah lama di Jogja, bajigur sering saya pake untuk misuh, marahi orang, dan ungkapan kagum yang kalo seumpama dikalimatkan akan membutuhkan banyak kata, frase, struktur dan majas-majas yang pasti saya kesulitan merangkainya.
Ketika saya dilanggar oleh pengendara motor di jalanan Jogja, spontan saya langsung teriak:”Bajigur! Matane dinggo su!” disini bajigur membawa pesan kemarahan, yang pada akhirnya dia memiliki makna negatif. Mungkin akan sangat beda kalo ketika saya melihat elang laut untuk yang pertama kalinya dalam hidupku:”Bajigur…elang laut to?” saya tidak bisa membayangkan kalo saya harus pake puisi untuk mewakili keindahan si elang dalam tulisan.
Bajigur atau mungkin fuck yang saya pake di postingan saya itu, tidak lebih adalah sari paling inti dari sebuah loncatan radikal rasa kagum akan sebuah keindahan saya kepada makhluk Tuhan yang bernama burung. Mungkin bisa disandingkan dengan kalimat subhanallah dalam bahasa arab. Maaf saya bukannya menyandingkan keindahan dan kesucian bahasa Al-Qur’an dengan bahasa jalanan. Tapi ini adalah media. Sama halnya dengan hukum awal barang: mubah atau netral. Dia akan menjadi haram atau halal setelah digunakan untuk apa.
Dan bajigur, fuck, kampret, asu, atau dancuk pun bisa menjadi kalimat thayyibah ketika dia digunakan untuk mengungkapan rasa kagum, rasa bersyukur atas sebuah karunia Tuhan yang bernama keindahan. Memang pada akhirnya tergantung budaya mana yang junjung karena disitu bumi dipijak. Jadi ketika sahabat saya langsung protes begitu saya memakai istilah “fucking” saya tidak boleh tersinggung karena mungkin dia sangat paham budaya apa yang telah menciptakan kata itu. Jadi spontan saja saya ganti bajigur.
Sebenarnya saya sedang menggambar gunung yang sama dengan memakai media lukis dan aliran yang berbeda.