Apa yang ada di pikiran kita ketika tanggal 9 April kemarin nyontreng di TPS kampung Kita? Beberapa kelompok orang mungkin ada yang sekedar ikut nggruduk layaknya tetangga-tetangganya. Beberapa kelompok lagi karena merasa nggak enak dilihat tetangga atau temannya kalau di hari yang cerah itu cuma ngerong di rumah saja. Beberapa yang lainnya karena terlanjur cinta kepada partai tertentu atau kebetulan ada saudara atau mantan teman SMAnya yang jadi caleg. Atau ada juga yang masuk ke dalam bilik contreng tapi gak ngapain-ngapain karena sudah instiqoroh berhari-hari tapi masih belum dapat petunjuk kotak mana yang harus dicontreng, lalu nggumun melihat kertas suara sebegitu besar dengan sederet nama partai dan nama caleg yang masih asing baginya. Dan yang terakhir, yang paling sensasional, kelompok golput.
Golput dengan berbagai macam metode dan strategi: masuk bilik contreng lalu ngorok atau mencontreng semua kotak yang ada sehingga dianggap suara tidak sah, pura-pura masuk angin sambil kemulan brukut di rumah, beralasan tidak masuk DPT atau memang tidak dimasukkan DPT, atau yang paling simple: memang gak berniat nyontreng. Tapi terlepas dari semua alasan itu, golput pada akhirnya tetap dianggap sebagai kelompok yang picik politik. Ada juga yang mengatakan apolitis. Saya bukannya mau membela kelompok golput. Tapi mari berandai-andai, berpikir sejenak. Dengan logika yang tidak terlalu rumit.
Lebih maslahat mana, kita golput atau kita nyontreng salah satu satu caleg dari partai tertentu, tapi ketika caleg yang kita pilih kalah, besok ada berita di koran ternyata caleg kita meminta balik sumbangan tivi yang sudah dia berikan kepada sebuah kelompok warga. Jika kita berada pada pilihan yang kedua berarti kita sudah menyerahkan waktu penantian kita selama lima tahun kepada seorang oportunis yang hanya mementingkan dirinya sendiri, dan model caleg seperti itu nggak cuma satu dua saja. Lima tahun itu sebuah harga yang tidak murah. Dan tentunya dari perilaku calegnya, kita sudah bisa mengira-ira seperti apa watak partainya.
“Lha saya nggak kenal sama calegnya mau gimana lagi?” berarti sampeyan sedang membeli kucing dalam karung.
Saya tidak tahu berapa jumlah total caleg di pemilu sekarang. Tapi yang jelas, kalau semua caleg itu dikumpulkan lalu dibagi menjadi beberapa tim sepakbola, saya yakin jumlah itu sangat cukup untuk membuat sebuah liga sepak bola. Dengan jumlah segitu buanyaknya, bagaimana kita sebagai pemilih bisa mengenali calon pilihan kita? Ujung-ujungnya kita milih caleg artis dengan track record politik yang tidak jelas. Terlepas apa niatan mereka menjadi caleg biarkan itu menjadi wilayahnya Tuhan dan caleg yang bersangkutan.
Tidak jauh berbeda dengan memilih partai tertentu. Tidak dipungkiri, ada beberapa partai yang memiliki visi kebangsaan yang harus diacungi jempol. Tapi kita tidak bisa mamaksa seseorang untuk merangkai pemahaman apa yang menurut dia partai yang ideal.
Jadi, menjadi golput bukan sebuah pilihan tanpa pertimbangan. Kita tentu tidak kepingin membeli kucing yang ternyata cemeng. Atau pinginnya beli duren montong tapi yang didapat duren bodong. Akhirnya si penjual jadi berdosa karena –minimal- tidak jujur mengatakan apa yang dia jual dan si pembeli rugi karena akad jual beli telah disepakati tapi dia mendapatkan barang yang tidak sesuai dengan promosi.
Saya tidak sedang berbicara tentang sekelompok masyarakat yang dianggap “buta politik” tapi saya sedang bicara tentang legitimasi lembaga legislative yang akan duduk di senayan nanti. Saya sedang bicara tentang bobroknya penyelanggara Negara dalam hal ini KPU. Saya sedang bicara tentang strategi politik kekuatan-kekuatan besar untuk me-lenggang kangkung-kan beberapa partai tertentu untuk menguasai parlemen. 40% suara golput itu adalah angka yang sangat fantastis dan memalukan untuk membentuk pemerintahan baru!
Jadi apa, siapa, dan dimana yang sudah diletakkan tidak pada tempatnya ini?
klik disini biar tambah bingung
Like this:
Like Loading...