Setiap thesis pasti memiliki anti-thesisnya. Thesis normatif mangatakan “agama adalah petunjuk hidup” yang kemudian dibantah dengan anti-thesis yang mengatakan “agama adalah candu”. Tidak, saya sedang tidak ingin membahasa tema perdebatan yang tiada ujungnya ini. Tapi saya sedang ingin menggarisbawahi bahwa tetap ada titik resultan yang menengahi dua thesis ini.
Sedikit ngerpek syairnya manusia Indonesia terhebat yang pernah ada, Emha Ainun, kalo nggak salah seperti ini:
kalau memang agama adalah candu, maka Allah adalah canduku
Terserah bagaimana Anda menginterpretasikan puisi di atas.
“Masuk aja ke facebook, dia sering ngobrol sama temen-temen di situ.” begitu isi sms dari sahabat saya.
Ahh…kenapa harus facebook? Tidak adakah ruang sillaturohmi yang lainnya? Sejak beberapa bulan lalu, sejak FB ramai dibicarakan, saya sudah menancapkan niat bahwa bukan sebuah pilihan ikut-ikutan banyak orang untuk membuat account di FB. Bahkan ketika inbox emailku penuh dengan inviting dari banyak kawan yang sudah joint di FB, kesepakatanku dengan hatiku tidak berubah: Tidak Untuk Facebook! Sebuah anti-thesis yang sangat sederhana terhadap blooming FB.
Tapi ada apa denganku hari ini? Sms itu? “Dia”? Facebook?
Akankah aku harus mengingkari kesepakatanku dengan hatiku lalu berselingkuh dengan FB demi untuk -sekedar- tahu kabar “dia”? Atau jangan-jangan memang ini yang diinginkan oleh hatiku: bertemu dengan “dia”.
Dia, wanita pertama yang mengajari aku tentang sebuah kata sederhana: cinta. Cinta anak sekolah berseragam biru putih bercelana pendek yang masih doyan mainan kelereng. Cinta yang harus aku pendam sampai aku kuliah. Cinta yang bahkan sampai sekarang tidak beranjak dari lobang romantisme subyektif yang sebenarnya tidak perlu karena tidak akan pernah jadi nyata. Bahkan berandai-andai untuk jadi nyatapun tidak.
“Betul itu hanya romantisme saja, kawan. Dan hari ini kamu aneh sekali, agak-agak melo….” kata suara tak dikenal di belakangku.
“Setiap orang pasti kangen kampung halaman sejarahnya.” jawabku singkat, sedangkan tanganku terus mencenti keyboard.
“Kamu tidak akan mendapatkan apa-apa selain khayalanmu!” balas suara itu.
“Bahkan sejak pertama kali aku bertemu dia aku sudah tinggal di kampung khayalan.” jawabku cuek sambil terus menceti keyboard.
“Onani!” nada dia sekarang agak kaku. “Cintamu hanya candu, perangsang fatamorgana!” sambungnya
“Yup, betul, dan kalaupun cinta adalah candu. Maka Dia adalah canduku!” jawabku ringan, sambil mengarahkan crusor mouse ke jendela berjudul Welcome to Facebook! Klik..
“Apa yang kamu lakukan?” tanya suara itu
“Hmmm…. Bikin account di Facebook!
GUBRAKK…
Ahaa… terjatuh juga akhirnya dia…
memang terkadang keinginan seperti api jauh dari panggang,tapi hasrat…..
LikeLike
Pokoke wegahhhhhhhhhhhhhhhhhhhh hahahhahahahahaa
**PIYE..PIYE..? SING LUCU OPO? ENTUK MELU NGGUYU RA? HYAHAHAHAHAAA..
LikeLike