Pertama kali mendengar nama bubut, mungkin hal yang terlintas di pikiran anda adalah seekor burung yang membosankan karena warnanya yang hanya hitam dan coklat kemerahan. Suaranya sama sekali tidak masuk kategori enak didengar, baik di telinga kiri maupun kanan. Dan yang paling menyebalkan adalah sok jual mahal alias susah diamati.
Tapi sejak tanggal 26 April 2009, sepertinya semua anggapan itu harus runtuh. Atau kalau tidak, akan diruntuhkan dengan paksa. Diawali oleh rencana tim burung PEH yang hendak melakukan monitoring sarang Manyar Emas (Ploceus hypoxanthus) dan Manyar Jambul (Ploceus manyar) di blok Gatel yang masuk dalam seksi Karang Tekok.
Perjalanan dimulai pukul 06.45 WIB dari kantor batangan, setelah kira-kira 45 menit perjalanan menggunakan sepeda motor, pukul 07.30 WIB kami sampai di kantor seksi Karang Tekok, sekalian “menculik” salah seorang rekan PEH yang sedang memberi makan ayam-ayam kesayangannya untuk sekalian ikut ke lapangan.
Sesampai di lokasi yang dituju, puluhan ekor manyar emas sudah menunggu kami. Blok Gatel merupakan tempat dimana ratusan Manyar Emas dan Manyar Jambul bersarang pada bulan antara Februari-Juni. Pada lokasi yang tepat berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Baluran ini didominasi oleh vegetasi beluntas, rawa air tawar merupakan tempat yang sangat ideal bagi tumbuhnya rumput tifa dimana ratusan burung manyar bersarang. Tambak ikan yang tidak jauh di utara merupakan salah satu habitat beberapa jenis burung air baik penetap maupun migrant.
Ternyata salah satu daerah penting bagi burung yang ada di Taman Nasional Baluran ini bukan sebuah lokasi angker yang susah dijangkau manusia, bahkan setiap hari orang-orang yang hendak melaut atau mencari rumput selalu lewat lokasi ini. Tidak terlewatkan juga birdwatcher seperti kami.
Selang tidak lebih dari setengah jam, sekitar pukul 08.10 WIB, ketika kami mencoba menyisir ke arah timur, sepasang burung hitam seukuran merpati melompat dan terbang dari ujung pagar bambu masuk ke kerumunan beluntas. Selintas kami menuduh mereka adalah Bubut Jawa berdasarkan dari warna hitam di sekujur tubuh dan warna coklat kemerhan di ujung sayap. Berjemur di pagi hari juga salah satu perilaku burung bubut. Tanpa berpikir panjang, kamipun segera “memburunya”, mencoba menabrak lapisan beluntas tapi terlalu rapat. Akhrinya pilihan paling logis adalah menunggu.
5-10 menit menunggu dengan tenang, masuk menit ke 15 matahari sudah mulai terasa panas. Dapat 20 menit kepala sudah mulai terasa gatal, mungkin kulit kepala sudah mulai mengelupas karena panas. Dan memasuki menit ke 30, saatnya berpikir lebih cerdas: pindah tempat. Kembali ke lokasi semula atau berputar siapa tahu bisa ketemu beberapa jenis burung lainnya.
Tapi beberapa meter melangkah, si Bubut Jawa sudah menunggu. Dia sedang berjalan di atas tanah dalam posisi waspada. Tanpa berpikir panjang, moment penting ini segera kami abadikan dengan “laras panjang” andalan. Jepret…jepret… beberapa frame kami dapat dan terbanglah dia saat itu juga, menyelinap lagi di kerumunan beluntas, menghilang lagi menyisakan rasa puas dan penasaran yang semakin besar. Lain waktu kita berjumpa lagi, kawan…
ah, masak sih burung bubut sudah selangka itu … absolutely yes, dia berstatus Vulnerable IUCN. coba lihat di http://birdbase.hokkaido-ies.go.jp/rdb/rdb_en/centnigr.pdf
LikeLike
okey bro, thanks
kebetulan aku lahir, dibesarkan dan tinggal di sidoarjo – trus, ayah berasal dari kembangbahu, lamongan, berbatasan dengan mantup – kami sangat familiar dengan bumi asal ayah kami. lha, di dua tempat itu yang namanya burung bubut bukan burung yang asing …, seingatku juga, burung ini tidak diburu karena bunyinya, sehingga bisa dikatakan – tidak termasuk most wanted. akhir-akhir ini kami masih dengar tanda-tanda keberadaannya. jadi, pada awalnya aku heran, di baluran yang habitatnya burung … itu adalah bubut pertama yang bisa ditemui. so, kaget aja … wong nggak tahu je …
coba diperhatikan lagi, bubut yang ada di kampunge sampeyan itu bubut apa? kalo bubut alang-alang (Centropus bengalensis) atau bubut besar (Centropus sinensis) emang masih berlimpah ruah. tapi kalo itu bubut jawa (Centropus nigrorufus) itu baru yang jenis jarang…. dan sialnya, bagi yang jarang mengamati bubut pasti akan kesulitan membedakan ketiganya, karena emang mirip2 banget.
LikeLike
ooo…,
bubut yang di tempat kami, ada yang sarangnya di tanah-tanah berongga atau di daun-daun tebu…
LikeLike
Wahhhhh….Bubut Jawa (Centropus nigrorufus) kan langka. Jarang” lohh..
Di Jakarta kita cuma bisa liat di Muara Angke. Disini ada 8-9 individu Bubut Jawa…
Cakep fotonya..
Salam..
**wah 8-9 tuh udah banyak boss. disini cuma 2 ekor sejauh ini yang terpantau. terima kasih kawan2 dari jakarta birder. sudah mampir dan berbagi informasi.
LikeLike
Apa mungkin bubut jawa emang wes angel ketemune yo bos?… aku nang Kawasan gunung salak, suaka elang pas pengamatan yo ga ketemu bubut jawa. hanya bubut alang2 thok,….
kalo dilihat dari statusnya dan tipe habitat idolanya yang hanya di pesisir dan itupun yang ada mangrovenya, mungkin saja dia emang sangat jarang pak. coba lihat di sini http://birdbase.hokkaido-ies.go.jp/rdb/rdb_en/centnigr.pdf pengalaman di Baluran, dari luas kawasan yang 25.00 ha, bubut jawa cuma ditemukan di areal rawa yang luas gak lebih dari 5 ha. lagian dia jauh lebih pemalu daripada bubut alang2. mungkin masih keturunan keraton hehehee….
LikeLike
Ya emang sih katanya langka tapi kemaren gue liat satu didekat rumah gue
LikeLike