Month: September 2009

List Foto Jenis Terbaru

Beberapa list foto-foto jenis baru. Ada 9 jenis baru yang fotonya didapat dalam 3 bulan terakhir. Kecuali Gagak Kampung yang didapat di Mangrove Information Centre, Bali dan Cica Kopi Melayu, Tepus Pipi-perak, Srigunting Bukit, Uncal Loreng serta Walik Kembang yang didapat di TN. Gunung Merapi. 1 jenis di Pantai Trisik, Yogyakarta. 4 jenis lainnya didapat di TN. Baluran yaitu Jingjing Petulak, Pelanduk Semak, Pelanduk Topi-hitam dan Ciungair Jawa.

  • Jingjing Petulak

.

.

  • Gagak Kampung

.

.

  • Cica Kopi Melayu

.

.

  • Tepus Pipi-perak

.

.

  • Pelanduk Semak

.

.

  • Pelanduk Topi-hitam

.

.

.

  • Ciungair Jawa

.

.

  • Srigunting Bukit

.

.

.

  • Walik Kembang

.

.

.

  • Uncal Loreng

.
.

  • Cerek Pasir Besar

.

Luasnya Islam dan Tarawih 1 Menit 28 Detik

Apa yang terjadi seandainya Indonesia tidak pernah di-ampiri sama para Wali Songo? Apa yang terjadi seandainya tidak ada sejarah Islam di Indonesia sampai detik ini? Saya yakin Allah gak akan terima! Atau minimal para malaikat akan gelisah bukan kepalang lalu membentuk dinas rahasia yang diam-diam akan meng-Islamkan Indonesia!

Bukan masalah jumlah pemeluknya yang terbesar yang membuat Islam-Indonesia memiliki nilai spesial. Bukan pula jumlah masjidnya yang tersebar hampir di setiap kampung-kampung atau gang-gang. Jika anda berkunjung ke daerah Madura atau wilayah dimana suku madura adalah komunitas mayoritas, yang namanya Masjid bahkan lebih banyak dari jumlah konter pulsa. Bukan pula sejarah penyebarannya, terutama di Jawa, yang sama sekali berbeda. Hampir tanpa huru-hara atau peperangan, kecuali Demak di bawah pimpinan Raden Patah yang menyerang sisa-sisa kejayaan Majapahit. Itupun karena Raden Patah mbalelo setelah dilarang oleh Sunan Ampel.

Islam-Indonesia adalah sebuah institusi dimana sebuah proses dialektika berjalan dengan sangat dewasa. Di negeri ini Islam tumbuh dengan berbagai macam wajah dan aliran, mungkin sama banyaknya dengan jumlah pemeluknya. Karena memang seharusnya sajadah Islam dibentangkan seluas cakrawala untuk membuka pintu-pintu pemikiran dan kontemplasi yang mendalam tentang Islam.

Islam menjadi bukan semata-mata agaman doktrinasi yang kaku dan statis. Terlepas pada akhirnya terjadi banyak perbedaan, bahkan sampai yang paling prinsipil, toh “Perbedaan di antara umatku adalah rahmat”. Yang salah dapat nilai 1 yang benar dapat nilai 2, begitu dulu guru ngaji saya mengajari. Perselisihan dan pertikaian pada akhirnya adalah sebuah keniscayaan, tapi semoga bukan satu-satunya metode evaluasi untuk menentukan ajaran siapa yang paling benar. Karena seperti awal penyebarannya, islam di Indonesia berkembang tanpa huru-hara.

“Lalu bagaimana dengan para teroris-teroris itu Gus?” aku bertanya kepada guruku.

“Mereka bukan islam. Bahkan mereka bukan Indonesia.” jawab beliau singkat.

“Lalu siapa mereka Gus?” desakku

“Mereka cuma segelintir orang yang GeeR menganggap dirinya islam, mereka adalah secuil teori yang tidak punya formulasi absah untuk menjelaskan definisi syahid!” jelasnya singkat pula.

“Tapi kan Islam boleh-boleh saja diinterpretasikan bermacam-macam Gus?” aku mencoba moh ngalah.

“Boleh. Halal. Asal jangan ngeyel menyebut kambing adalah onta, padahal jelas-jelas itu kambing!” jawab beliau.

Lalu siapakah yang ngeyel menyebut kambing adalah onta padahal jelas-jelas itu adalah kambing? Adakah orang yang sebodoh dan sebuta itu? Memang benar kata guru saya, pada akhirnya mereka bukanlah Islam atau minimal PD bahwa mereka Islam pun juga bukan.

Yah, lagi-lagi kita harus terbuka bahwa betapa luas dan terbukanya islam. Mulai dari yang tiap hari pake ghamis, sorban atau sarung sampai yang datang ke pengajian pake kaos oblong bertuliskan “Life for Satan”. Mulai dari yang naek haji tiap tahun tapi masih kurang sampai yang sekali naik haji tapi takut diketahui orang kalo dia sudah haji. Mulai dari yang berebut kunci surga hanya dengan jihad sampai yang istiqomah berderma meskipun “cuma” seribu rupiah tiap hari.

Di kampung tempat tinggal saya, di sebuah masjid kecil bernama Al Mu’min pada bulan Ramadhan hampir tidak pernah berhenti terdengar orang dan anak kecil mengaji. Mereka hanya petani dan pencari kayu bakar di hutan Baluran. Dan sepertinya mereka juga tidak butuh formula yang terlalu rumit untuk mendefinisikan tentang Islam, syahid, apalagi surga. Pagi, siang, sore bahkan malam tidak pernah berhenti suara-suara ayat Al-Qur’an terdengar dari corong Toa yang dipasang di atas atap masjid.

Bagi mereka Islam bukan sebuah definisi apalagi teori. Islam adalah apa yang keluar dari pemikiran mereka bahwa apa yang mereka lakukan tidak merugikan orang lain. Masjid tidak pelu megah, karena masjid raga hanyalah simbol yang pasti akan lapuk oleh matahari dan hujan. Salah satu imamnya pun juga hobi main gaple, karena dengan begitu akan menghindarkan dia dari potensi riya’ dan sombong. Sholat jum’atnya gak perlu lama-lama, gak lebih dari 15 menit.

Dan pelajaran terakhir dari jama’ah ini adalah. Untuk menghindarkan sholat tidak khusuk adalah dengan mempercepat sholat itu sendiri. Mungkin anda perlu mencoba sholat tarawih di sini. Satu kali membaca Al-Fatihah cukup 14 detik, ditambah surat pendek juz-amma total 28 detik. Sehingga satu kali sholat tarawih hanya membutuhkan waktu 1 menit 20 detik. …ghoiril maghdu bi ‘alaihim waladldloolliin… MIN!!! Bahkan bacaan “A” tidak terdengar! Satu-satunya hal yang membuatku tidak khusuk sholat tarawih disini adalah berkali-kali nglirik jam dinding untuk menghitung berapa lama surat Al-Fatihah dibaca, surat pendek atau berapa lama satu kali sholat membutuhkan waktu. hehehe…

Njenengan ki cen hebat tenan Gus…