Month: January 2010

Pancasila Seharga Rp. 100,-

Setiap kali melakukan perjalanan pulang atau kembali ke Baluran, di atas bis jurusan Malang-Probolingo atau Probolinggo-Situbondo, hampir selalu ada saja cerita-cerita nyleneh meskipun mungkin sangat biasa. Tentang pengamen sok ganteng dengan rambut gimbalnya pasang aksi macho di depan penumpang cewek-cewek lumayan cakep. Atau pengamen yang seluruh wajahnya ditato jadi agak sangar, sebenarnya dia nyanyi gak bisa apalagi gitaran, jadi cuma pasang wajah sangarnya sambil bertepuk tangan, nyanyi sekedarnya lalu menyodorkan tangannya sambil mendelik di depan para penumpang, tentunya sambil memperlihatkan wajahnya yang penuh tato. Sapa yang gak gilo, kasihlah 100 perak biar cepet pergi aja itu orang.

Pulang dari Malang kemaren pagi, setidaknya ada tiga catatan baru buat nambah daftar cerita nyleneh dalam sepanjang perjalanan Malang-Baluran. Ada seorang penumpang naik sambil membawa ayam jantan yang sepertinya ayam aduan. Dibungkus di dalam tas khusus yang dibuat dari anyaman rotan, hampir sepanjang perjalanan dari Malang sampai Pasuruan, si ayam yang rupanya habis menang duan itu tiada hentinya berkokok! Di dalam bis! Kukuruyuuuukkkk….kerrrr… terus begitu. Sampai-sampai ada orang yang nyeletus “HPne di-silent gak iso ta rek?”. Mungkin kalo si ayam tahu bahasa manusia, dia pasti jengkel “Suara merdu kayak gini masak dikira ringtone?” mungkin begitu pikir si ayam.

Tidak lama kemudian, seorang ibu-ibu yang menggendong anaknya di sebelah saya di-waduli anaknya yang mungkin baru berumur 2 tahunan. Kondisi bis sedang penuh sesak. Lalu si anak bilang kepada ibunya “Buk, kebelet pipis!” si Ibu bingung. Mau pipis dimana? kalo naik bis executive mungkin bisa aja minta berhenti lalu ditungguin, tapi ini bis AKAS! Okelah kalo begitu, “Dibediriin aja, Dik!” suara seorang lelaki di bangku belakang kami yang tenyata adalah suami si ibu tadi. Dibediriin? Ya, dibediriin! Dalam kondisi bis penuh sesak, tepat di sebelah saya, si anak tadi dibediriin sama ibunya, dibuka celananya, dikeluarkan kusmin-nya lalu dimasukkan ke dalam botol Aqua. Pipislah si anak, di depan mata saya. Gemericik suara air kencing yang masuk ke dalam botol Aqua, dan air warna kuning langsung menyeruak ke dalam mata, telingan dan logika saya. “Emang kasih ibu sepanjang masa!” maksudnya kepada anaknya, bukan kepada penumpang di sebelahnya.

Dan catatan terakhir adalah dua orang pemuda, pengamen, dengan rambut gondrong. Satu pegang gitar, dan satunya lagi yang gak bawa gitar, bertato. “Selamat siang para penumpang bis jurusan Problinggo-Banyuwangi… bla… bla…” seperti biasanya selalu ada kalimat pembuka yang kemudian langsung disambung dengan menggenjreng gitarnya lalu bernyanyi. Waktu itu mereka menyanyikan lagunya Iwan Fals, aku lupa judulnya, tapi kurang lebihnya, liriknya seperti ini: di tanah yang satu kita berdiri, di air yang sama kita berjanji… untuk Indonesia. Ada yang tahu judulnya?

Sepertinya kedua pemuda macho ini sangat bangga menyanyikan lagu ini, sampai-sampai reff diulang dua kali. Dan menggunakan suara satu, suara dua sehingga lagu ini jadi emeng terdengar cukup merdu. Dan ketika memasuki reff ketiga, sepertinya reff terakhir sebelum menutup lagu. Si pembawa gitar terus nggenjreng sambil mengulang-ulang beberapa kalimat dengan suara lirih penuh penghayatan, sambil matanya merem-melek. Dan temen satunya, yang gak bawa gitar dan bertato tadi, dengan lantang dan penuh percaya diri angkat nada tinggi lalu berteriak “Pancasila! Satu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Tiga, Persatuan Indonesia. Empat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dan Permusyawaratan Perwakilan. Lima, Keadilan bagi Seluruh Rakyat Indonesia!

Spontan seluruh penumpang hampir terdiam, termasuk saya yang langsung menelan ludah. Gleg! Ada berbagai perasaan muncrat dari dalam kepalaku: lucu (macho tapi ingat Pancasila!), malu (kapan ya yerakhir kali saya membaca Pancasila?), bangga (bahkan pengamen pun bangga membaca Pancasila) dan sedih (karena hanya pengamen yang masih punya kebanggaan membaca Pancasila!).

Semula aku sudah males mau ngasih uang receh kepada mereka. Tapi begitu mendengar Pancasila dikumandangkan dengan penuh semangat dan rasa bangga, hatiku pun luluh. Aku rogoh saku kananku, kucari-cari logam bulat di dalamnya, dan ternyata ada. Sekeping udang seratus rupiah. Kusodorkan lalu kumasukkan ke kantong plastik yang dibawa dua pengamen itu. Seratus rupiah untuk Pancasila-ku.

Recovery Files: Mesin Waktu yang Sangat Berharga

Lagi-lagi, saya harus bertanya kepada diri saya sendiri: hal apakah yang paling berarti dalam hidup?

Pasti akan ada banyak jawaban: ilmu, pengalaman, keluarga, temen-temen, pekerjaan, NIP, kamera, dan masih banyak lagi. Tapi ketika semua kekayaan-kekayaan itu saya kumpulkan, lalu saya petani satu persatu, saya urai dalam berbagai macam perpektif, epistemologi, metode dan teknis analisa maka apapun itu yang berharga dalam hidup akan meng-ekstrasi dalam satu kata: waktu!

Dan dari turunan-turunan waktu yang paling berharga itu adalah “right man on the right time and right place”!

Saya gak bisa membayangkan kalo seandainya dulu saya nggak ketemu dengan sekelompok Serindit Jawa pada suatu pagi di musim penghujan bulan Januari di Baluran. Mungkin sampai detik ini saya gak akan pernah ketemu dan ambil beberapa fotonya. Atau bagaimana kalo tanggal 1 Juli tahun lalu saya gak jadi berangkat ke kawah Gunung Baluran untuk berburu foto selama seminggu, mungkin sampai detik ini saya gak akan tahu, apalagi punya koleksi foto-foto Luntur Harimau atau Cekakak Batu yang entah apakah saya bisa bertemu lagi dengan mereka nanti. Atau Elang Jawa yang dulu masih di-konon-kan, ternyata memang bener-bener ada.

Berawal dari keingin untuk memperbaiki komputer PEH yang emang udah rewel sejak beberapa bulan lalu karena kebutuhan membuat buku burung Baluran versi Inggris yang menuntut komputer yang sehat. Dengan kondisi capek dan agak ngantuk, instal saja windows baru. Dan karena kurang teliti pada satu step, saya tidak sadar kalo request windows setup meminta salah satu drive yang harus diformat sebelum di-instal. Karena kurang teliti, tekan aja “F” untuk melanjutkan proses formating drive yang dipilih. Dan…ahhh…kok ya yang saya pilih itu drive “D” dimana semua data-data PEH sejak dua tahun lalu, termasuk foto-foto selama 20 bulan saya kumpulkan dari seluruh wilayah Baluran!

Dan terjadilah apa yang baru juga kemarin diperingatkan oleh Pak Don Hasman, seorang fotografer dan penulis yang sangat berpengalaman, kepada saya “Backup itu semua foto-foto kau! minimal 2 tempat! kalau sampai foto-foto kau hilang, nangis juga tiada guna!”

Ya Allah, apakah sangaja Kau pertemukan aku dengan beliau untuk memperingatkan saya, bahwa hari ini semua itu sudah Kau rencanakan dan tidak mungkin Kau batalkan!

Hanya karena saya tidak mau bersabar dengan waktu untuk sekedar membaca satu baris pesan pada monitor “which drive you want to format?” Karena ingin mempercepat waktu, justru akirnya aku harus mundur lagi jauh ke belakang. Bahkan mungkin harus memulai dari awal, di titik waktu nol.

ahh.. sudahlah. Ikhlas saja. Yakin saja semua pasti ada rencana-rencana yang dipersiapkan oleh Allah. Dan, percaya (untuk yang kesekian kalinya) kepada mesin untuk merecovery dirinya lagi, mengembalikan moment-moment berharga yang hilang: Serindit Jawa di musim penghujan Baluran, Luntur Harimau dan Cekakak Batu di kawah Gunung Baluran, Elang Jawa, atau semua moment-moment berharga kawan PEH tiga tahun yang lalu. Kalau seandainya berhasil, maka tidak ada pilihan lain kecuali percaya bahwa waktu sebenarnya bisa diulang kembali, meskipun teknologi manusia hanya bisa sebatas dalam sistem mekanisme fisika mesin yang bernama komputer!