Pendahuluan
Ekowisata, sebagai sebuah wacana pemanfaatan sumberdaya hutan masa depan yang ramah ekologis, dan menguntungkan secara ekonomis pada dasarnya masih menjadi perdebatan seputar pengertiannya. The International Ecotourism Society mendefinisikan ekowisata sebagai “sebuah wisata yang memperhatikan aspek alami melalui menjaga lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan”. The Australian Commission on National Ecotourism Strategy menyebutkan ekowisata sebagai “wisata berbasis alam yang meningkatkan fungsi pendidikan dan pemahaman terhadap lingkungan yang bertujuan untuk keberlanjutan ekologi”.
Berbeda dengan wisata massal (mass tourism) yang kenyataannya banyak berkembang di negara-negara berkembang. Wisata massal sama sekali tidak memperhatikan aspek kelestarian lingkungan, pendidikan, apalagi kesejahteraan masyarakat lokal dan parahnya skema wisata massal ini masih menjadi andalan pengelola kawasan konservasi untuk mendongkrak PNBP mereka. Dengan harga tiket masuk Rp. 2500 per orang untuk masuk ke kawasan Taman Nasional adalah harga yang sangat murah untuk mengundang banyak orang untuk masuk ke kawasan. Maka yang menjadi permasalah dan pertanyaan besar adalah bagaimana dampak keberadaan manusia yang begitu besar di dalam kawasan terhadap ekologi kawasan?
Menurunnya kualitas hutan akibat penumpukan sampah, pemadatan tanah, vandalism, perubahan perilaku satwa bahkan sampai kebakaran hutan adalah dampak yang pasti terjadi di dalam kawasan konservasi. Untuk itu, wisata minat khusus sebagai sebuah konsep pengelolaan wisata dalam paradigma baru harus dikembangkan untuk mengurangi dampak negatif wisata terhadap kawasan.
Berikut adalah macam-macam wisata yang dilaporkan oleh Wordwatch Institute sampai tahun 2005:
Category | Definition |
Adventure tourism | A form of nature-based tourism that incorporates an element of risk, higher levels of physical exertion, and the need for specialized skill. |
Ecotourism | Responsible travel to natural areas that conserves the environment and improves the welfare of local people. |
Geotourism | Tourism that sustains or enhances the geographical character of a place-its environment, heritage, aesthetics, culture, and the well-being of its residents. |
Mass tourism | Large-scale tourism, typically associated with ‘sea, sand, sun’ resorts and characteristics such as transnational ownership, minimal direct economic benefit to destination communities, seasonality, and package tours. |
Nature-based tourism | Any form of tourism that relies primarily on the natural environment for its attractions or settings. |
Pro-poor tourism | Tourism that results in increased net benefit for the poor people. |
Responsible tourism | Tourism that maximizes the benefits to local communities, minimizes negative social or environmental impacts, and helps local people conserve fragile cultures, habitats, and species |
Sustainable Tourism | Tourism that meets the needs of present tourist and host regions while protecting and enhancing opportunities for the future |
Sumber: TIES Global Ecotourism Fact Sheet (2006)
Ekowisata, sebagai bagian dari wisata paradigma baru adalah keniscayaan. The World Travel and Tourism Council (WTTC) memperkirakan pertumbuhan ekowisata Asia Tenggara mengalami peningkatan sebesar 103% pada tahun 1999-2007 (Anonim, 2000). Indonesia sebagai negara dengan kekayaan kehati yang tinggi memiliki potensi yang sangat besar mengembangkan ekowisata. Sampai tahun 2005 terdapat 512 kawasan konservasi di Indonesia dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 1. Jumlah dan luas kawasan konservasi di Indonesia sampai tahun 2005.
Fungsi | Jumlah Lokasi | Luas (Ha) | Jumlah (Ha) | |
Daratan | Perairan | |||
Cagar Alam
Suaka Margasatwa Taman Nasional Taman Wisata Alam Taman Hutan Raya Taman Buru |
243
77 50 119 21 15 |
4.456.488,59
5.083.704,53 12.165.845,14 300.411,73 343.454,41 219.392,49 |
274.215,45
339.218,25 4.218.349,00 765.500,70 – – |
4.730.704,04
5.422.992,79 16.384.194,14 1.065.915,43 343.454,41 219.392,49 |
Jumlah | 519 | 22.569.296,90 | 5.597.283,40 | 28.166.580,30 |
Sumber: Dephut dan JICA (2005)
Ekowisata Berbasis Pengamatan Burung di Alam (Avitourism)
Birdwatching atau dikenal juga dengan sebutan birding adalah aktifitas alam bebas mengamati burung di habitat aslinya. Pada awalnya aktifitas ini hanya dilakukan oleh peneliti burung sebagai bagian dari metode ilmiah penelitian burung di alam. Namun pada kelanjutannya birdwatching telah berkembang menjadi media pendidikan lingkungan, hobi, atraksi wisata bahkan obyek kompetisi. Di Amerika Serikat, sejak tahun 1983, jumlah pengamat burung (birders) mengalami peningkatan sebesar 332% dan menjadikan birdwatching sebagai aktifitas wisata alam bebas dengan pertumbuhan tercepat di negara itu (Cagan H., dkk., 2003). Jika pertumbuhan jumlah pengamat burung tersebut bisa dianggap sebagai sebuah representasi dari kecenderungan yang terjadi di negara-negara maju dan beberapa negara lain di dunia maka bisa diprediksi efek yang dihasilkan. Hampir di semua negara maju dan beberapa negara berkembang di kawasan tropis, birdwatching telah menjadi salah satu andalan pendapatan devisa negara dalam skema wisata minat khusus. Kita ambil beberapa success story negara-negara yang sudah mengelola dan mengembang avitourism dengan baik.
- Di Amerika, belanja wisatawan yang berhubungan dengan birdwatching mencapai USD 23 milyar dan berhasil mempekerjakan 800.000 orang di tahun 1996. Di tahun yang sama, sebanyak 17,7 juta pengamat burung di Amerika bepergian untuk mengamati burung dan membelanjakan sekitar USD 7,6 milyar untuk perjalanan tidak termasuk belanja alat. Pendapatan tahunan Negara itu di lima wilayah utama antara USD 2,4 juta-40 juta (Cagan H., dkk., 2003).
- Di Afrika Selatan, dari dua rute utama wisata birdwatching, yaitu Zululand dan Greater Limpopo, setidaknya menyumbang pemasukan sebesar ZAR50 juta per tahun. Seorang pemandu local bisa mengeruk pendapatan antara ZAR 30.000-72.000 per tahun, padahal sebelumnya pendapatan mereka hanya sekitar ZAR 6000 per tahun (Stacey J.,dkk., 2007). Kurs ZAR 1,00 sama dengan Rp 1.290,00.
- Taman Nasional Kuscenneti, Turki, diperkirakan dikunjungi oleh para pengamat burung yang membelanjakan sebesar USD 32 milyar di tahun 2001 (Gürlük, S., dkk., 2008).
- Dari hasil keuntungan wisata birdwatching, American Bird Conservancy bersama 16 kelompok Latin American Bird Conservation di 12 negara berhasil mengelola 37 suaka burung seluas 300.000 ha yang menjadi habitat 2000 jenis burung (Shire, 2010).
Dengan luasan kawasan konservasi (belum termasuk hutan-hutan di luar kawasan konservasi) seluas 28.166.580,30 yang terbagi menjadi 519 lokasi dari berbagai macam fungsi kawasan adalah modal penting untuk mengembangkan ekowisata, terutama wisata pengamatan burung. Dengan kawasan konservasi seluas itu, dan mungkin ditambah kawasan hutan di luar kawasan konservasi, adalah habitat ideal bagi kehidupan burung di alam yang notabene adalah utama dari avitourism ini. Ada 1598 jenis burung yang hidup di Indonesia (Sukmantoro, dkk., 2007). Dengan angka sebesar itu membawa Indonesia sebagai negara ke-4 setelah Columbia, Peru dan Brazil yang memiliki jenis burung tertinggi di dunia. Dari jumlah tersebut, 372 (23,28%) spesies di antaranya adalah spesies burung endemik dan 149 (9,32%) spesies adalah burung migrant (Sukmantoro, dkk., 2007).
Wilayah | Jumlah Spesies | Jumlah Spesies Endemik | ||
Id | +Feral | Id | Wil | |
Indonesia | 1598 | 2 | 372 | |
Sumatra | 628 | 7 | 44 | 26 |
Kalimantan | 522 | 5 | 4 | 1 |
Jawa | 507 | 2 | 56 | 32 |
Sulawesi | 416 | 9 | 117 | 106 |
Maluku | 365 | 9 | 94 | 66 |
Nusa Tenggara | 426 | 5 | 68 | 46 |
Papua | 671 | 2 | 55 | 41 |
Sumber: Daftar Burung Indonesia no. 2 (Sukmantoro, dkk., 2007)
Ket: Id = Endemik Indonesia; +Feral = spesies bukan asli Indonesia/region; Wil = endemik region/wilayah.
Birdwatching sebagai sebuah aktifitas wisata alam bebas tidak bisa dipungkiri memberi keuntungan yang besar baik secara ekonomi terhadap negara dan masyarakat lokal maupun secara ekologis. Dengan modal penting yang dimiliki oleh Indonesia di atas, mengelola dan mengembangkan ekowisata berbasis pengamatan burung di alam sehingga bisa membawa manfaat besar baik ekonomi maupun ekologi adalah sebuah keniscayaan.
Mengelola dan Mengembangkan Avitourism
Pengelolaan birdwatching sebagai sebuah atraksi wisata sebenarnya sudah dimulai sejak lama di Indonesia. Dengan kekayaan burung dan tingkat endemisitas yang tinggi, banyakkawasan konservasi di Indonesia sudah menjadi tujuan avitourism wisatawan mancanegara dari seluruh dunia. BirdQuest, salah satu perusahaan jasa wisata burung terbesar di dunia bahkan menjadi Gunung Gede-Pangrango, Bali Barat, Baluran, Gunung Kerinci, Kalimantan, beberapa pulau di Sunda Kecil sebagai tujuan tahunan mereka di Indonesia. Untuk kunjungan ke kepuluan sebelah timur Indonesia, Ambon, Tanimbar, Kai, Seram termasuk Buru selama 21 hari, setiap peserta tour dikenakan biaya £4.050,00 (Rp. 58.174.200,00) per orang! Dan ditambah £1.450,00 (Rp. 20.827.800,00) jika mereka ingin melanjutkan ke pulau Buru untuk 10 hari, per orang! (www.birdquest.co.uk).
Yang menjadi masalah disini adalah pengelolaan avitourism masih banyak dilakukan oleh agen-agen wisata asing. Sedangkan kawasan-kawasan konservasi sendiri hanya mendapat pemasukan dari tiket masuk kawasan maksimal Rp. 20.000,00 per orang (wisatawan asing), mungkin ditambah penginapan di dalam kawasan yang mungkin tidak lebih mahal dari Rp. 500.000,00 per kamar per malam.
Memiliki modal keragaman hayati yang tinggi bukan berarti tidak diperlukan perencanaan untuk mengelola wisata pengamatan burung. Proses mulai dari persiapan, pemantapan sarpras, peningkatan skill SDM termasuk promosi adalah hal-hal yang harus diperhatikan. Berikut adalah beberapa langkah yang perlu diambil dalam proses mengelola dan mengembankan wisata pengamatan burung disertai study kasus yang sudah diterapkan di Taman Nasional Baluran:
1. Studi untuk mendukung promosi
Data dari hasil penelitian tentang potensi kawasan dan dampak positif yang diberikan avitourism pada suatu kawasan sangat diperlukan sebelum pengelola memulai gerakan promosi. Artinya studi yang mendalam dan program promosi yang konsisten dan tepat sasaran adalah dua hal yang saling berkait kuat. Banyak kawasan tidak mendapat dukungan pendanaan yang cukup dari pemerintah karena tidak mempunyai data yang memadai untuk meyakinkan para pengambil kebijakan.
Sebagai langkah awal memulai pengembangan avitourism, Taman Nasional Baluran menginventarisasi keanearagaman burung beserta persebaran tiap jenis. Terdapat 189 jenis burung di kawasan ini. Untuk konsumsi avitourism data keanekaragaman dan persebaran burung ini dibagi berdasarkan criteria interest wisatawan:
a. Burung air.
Kebanyakan tersebar di lahan basah di sepanjang garis pantai, areal persawahan di perbatasan kawasan atau di areal tambak ikan. Burung-burung ini didominasi oleh burung migrant di musim dingin.
b. Burung pemangsa
Ada 19 jenis burung pemangsa yang tercatat di Taman Nasional Baluran, 13 adalah penetap dan sisanya pendatang di musim dingin. Angka yang sangat besar untuk kawasan seluas 25.000 ha dan tentunya sangat bagus untuk menarik pecinta burung pemangsa datang ke Taman Nasional Baluran. Hampir semua jenis raptor di Taman Nasional Baluran mudah diamati di savanna Bekol. Dengan begitu, lokasi ini akan menjadi salah satu lokasi terbaik bagi wisatawan untuk mengamati burung di Taman Nasional Baluran.
c. Burung endemik (regional maupun Indonesia)
Jenis-jenis endemik biasanya menjadi target wisatawan pengamat burung baik endemic nasional maupun regional (bioregional). Ada 11 jenis burung endemic tercatat di Taman Nasional Baluran. Jumlah yang cukup besar untuk mengundang para pengamat.
d. Burung bernilai konservasi tinggi
Burung bernilai konservasi tinggi adalah jenis-jenis yang masuk dalam Redlist IUCN berstatus Near Threatened, Vulnerable dan Endangered. Ada 15 jenis burung terancam punah yang tercatat di Taman Nasional Baluran. Salah satu burung langka yang menjadi target bagi para pengamat burung yang datang ke Baluran adalah Merak Hijau. Burung yang secara global memiliki populasi yang sangat kecil ini masih cukup mudah dijumpai di Taman Nasional Baluran.
Selengkapnya disajikan pada tabel di bawah ini:
Endemik |
Air migran |
Pemangsa |
Bernilai konservasi tinggi |
Elang Jawa Ayamhutan Hijau Cerek Jawa Serindit Jawa Bubut Jawa Cekakak Jawa Takur Tulung tumpuk Kepudangsungu Jawa Ciungair Jawa Gelatik Jawa Jalak Putih |
Kuntul Perak Kuntul Kecil Kuntul Cina Bambangan Kuning Cerek Tilil Cerek Kalung-kecil Cerek Kernyut Gajahan Penggala Trinil Pantai Trinil Ekor-kelabu Trinil Semak Gagangbayang Belang Kakirumbai Kecil Daralaut Biasa Daralaut Kumis Daralaut Jambul Daralaut Benggala Daralaut Tiram Daralaut Kecil Daralaut Tengkuk-hitam |
Alapalap Capung Alapalap Kawah Alapalap Sapi Elang Tiram Elang Perut-karat Elang Brontok Elang Buteo Elang Hitam Elang Jawa Elang Tikus Elangalap Cina Elangalap Jambul Elangalap Nipon Elanglaut Perut-putih Elangular Bido Elangular Jari Pendek Sikep Madu Asia Serak Jawa Kukuk Selaputo |
Gelatik Jawa Manyar Emas Jalak Putih Enggang Cula Takur Tulung tumpuk Pelatuk Kelabu-besar Wiliwili Besar Punai Kecil Serindit Jawa Bubut Jawa Kuntul Kecil Bangau Tongtong Elang Jawa Merak Hijau Cerek Jawa |
Sumber: Taman Nasional Baluran
2. Meningkatkan kemampuan guiding
Sebagian besar birdwatcher yang datang ke suatu lokasi pengamatan adalah orang yang sama sekali tidak mengenal lokasi yang mereka tuju. Di sisi lain, wisatawan pengamatan burung mempunyai target untuk menemukan jenis burung tertentu yang tidak jarang sangat sulit ditemukan. Apalagi bagi para twitcher, sebutan pemburu jenis baru, yang mempunyai ambisi memperbanyak jumlah daftar burung-burung yang dia temui. Dengan waktu kunjungan yang terbatas dan terjadwal ketat membuat mereka tidak mau mengambil resiko membuang waktu percuma tanpa menemukan burung target. Disinilah seorang guide mempunyai peran penting menjadi “pelayan” yang bisa memenuhi setiap “pesanan” pelanggan. Kemampuan komunikasi, penguasaan medan dan pengetahuan tentang burung adalah tiga syarat yang harus dikuasai oleh setiap pemandu karena setiap pemandu adalah interpreter yang menentukan kepuasan pelanggan. Setiap pelanggan yang merasa puas dengan kemampuan guiding pemandu akan pulang lalu mengabarkan kepuasannya itu kepada sesama birdwatcher. Jadilah dia agen promosi yang sangat efektif.
3. Pemantapan wilayah
Jalur pengamatan burung adalah fasilitas lapangan yang harus ada. Akan lebih baik lagi jika di setiap jalur sudah teridentifikasi dan terpetakan jenis-jenis burung yang hidup, toleransi terhadap manusia, jam aktif, bahkan sampai musim kawin.
Di Taman Nasional Baluran, terdapat banyak jalur pengamatan dimana tiap-tiap jalur memiliki perbedaan dengan jalur lainnya seperti jenis-jenis burung yang bisa atau mudah dijumpai, tipe vegetasi, dan panjang jalur. Bagi birdwatcher yang membutuhkan avitourism dalam bentuk paket, variasi jalur dengan spesifikasinya masing-masing akan member mereka banyak pilihan. Bahkan tidak jarang pengunjung yang memperpanjang waktu tinggalnya karena penasaran dan mencoba jalur lain (sebagai paket yang berbeda).
Sarana pendukung yang hampir wajib ada di setiap lokasi pengamatan burung yang harus dipersiapkan dan sudah tersedia dengan baik di Taman Nasional Baluran antara lain:
- Penginapan
- Kantin
- Transportasi ke dalam kawasan
4. Promosi
Inilah bagian terpenting dari pengembangan ekowisata. Tidak ada bisnis wisata yang berhasil tanpa strategi promosi yang tepat. Strategi promosi avitourism yang paling banyak dilakukan oleh kawasan-kawasan di negara-negara maju adalah melalui agen perjalanan wisata. Hal ini sudah dilakuka oleh Taman Nasional Baluran melalui biro perjalanan wisata yang ada di Jawa dan Bali, terutama di sekitar karesidenan Besuki.
Setiap biro perjalanan wisata memiliki jaringan diantara sesama penyedia jawa wisata yang akan saling mempromosikan paket-paket wisata. Semakin banyak biro perjalanan yang terjaring semakin banyak pula peluang menarik wisatawan datang ke kawasan.
.
Daftar Pustaka
Anonym. 2000. COMMUNITY BASED TOURISM FOR CONSERVATION AND DEVELOPMENT: A RESOURCE KIT. Washington D.C. USA
Gavin Shire. 2010. Conservation Birding articel.
Bird-watching, Ecoto urism, and ECONOMIC DEVELOPMENT: A Review of the EvidencE. Sheri L. Glowinski. Applied Research in Economic Development, vol. 5, issue 3, December 2008 – download
Cagan H., Sekercioglu, 2003. Conservation Through Commodification. Center for Conservation Biology Department of Biological Scieces Stanford University. Stanford. – download
Cordell, H. Ken; Herbert, Nancy G. (2002). “The Popularity of Birding is Still Growing” (PDF). Birding: 54–61. – download
Kerlinger, P. (1993) (PDF). Birding economics and birder demographics studies as conservation tools in Proc. Status and Managem. of Neotrop. Migr. Birds. eds. D. Finch and P. Stangel. Rocky Mntn For. and Range Exper. Station, Fort Collins, CO. USDA For. Serv. Gen. Tech. Rept. RM-229. pp. 32–38.
Pullis La Rouche, G. (2003) (PDF). Birding in the United States: a demographic and economic analysis. Addendum to the 2001 National Survey of Fishing, Hunting and Wildlife-Associated Recreation. Report 2001-1.. U.S. Fish and Wildlife Service, Arlington, Virginia. – download
Sukmantoro W., M. Irham, W. Novarino, F. Hasudungan, N. Kemp & M. Muchtar. 2007. Daftar Burung Indonesia no. 2. Indonesian Ornithologists’ Union, Bogor.
Stacey J., Pritcherd D. 2007. Birdlife South Africa is Growing Routes. Birdwatch ed. March 2007. – download
Endemik |
Air migran |
Pemangsa |
Bernilai konservasi tinggi |
Elang Jawa Ayamhutan Hijau Cerek Jawa Serindit Jawa Bubut Jawa Cekakak Jawa Takur Tulung tumpuk Kepudangsungu Jawa Ciungair Jawa Gelatik Jawa Jalak Putih |
Kuntul Perak Kuntul Kecil Kuntul Cina Bambangan Kuning Cerek Tilil Cerek Kalung-kecil Cerek Kernyut Gajahan Penggala Trinil Pantai Trinil Ekor-kelabu Trinil Semak Gagangbayang Belang Kakirumbai Kecil Daralaut Biasa Daralaut Kumis Daralaut Jambul Daralaut Benggala Daralaut Tiram Daralaut Kecil Daralaut Tengkuk-hitam |
Alapalap Capung Alapalap Kawah Alapalap Sapi Elang Tiram Elang Perut-karat Elang Brontok Elang Buteo Elang Hitam Elang Jawa Elang Tikus Elangalap Cina Elangalap Jambul Elangalap Nipon Elanglaut Perut-putih Elangular Bido Elangular Jari Pendek Sikep Madu Asia Serak Jawa Kukuk Selaputo |
Gelatik Jawa Manyar Emas Jalak Putih Enggang Cula Takur Tulung tumpuk Pelatuk Kelabu-besar Wiliwili Besar Punai Kecil Serindit Jawa Bubut Jawa Kuntul Kecil Bangau Tongtong Elang Jawa Merak Hijau Cerek Jawa |
Apik meneh nek iso menganalisa pengunjung sing teko ng Baluran nggo BW… Jumlah, spesies sg digoleki, ngerti Baluran ko ngendi, puas ra, dll… hehe
**la nek iku ngko taknggo tesis S3 ku dab! hahahaha… ngayal!
LikeLike
kalo benar-benar berminat mengembangkan di Baluran ada beberapa yang mungkin bisa di lakukan :
Kalo terlalu banyak pekerjaan, lagsung minta data saja ke tour operator, tour agent yang sering blusukan ke Baluran, koordinasi yang bagus pula dengan pihak hotel dan travel agent di Jawa Timur atau di sekitar Banyuwangi
Data seperti asal wisatawan birdwatcher, keinginan mereka apa, waktu berkunjung, seberapa sering ke Indonesia, rute perjalanan, berapa lama tinggal. Jadi bisa di analisis, karena ada beragam jenis wisatawan, ada yang budget minim, tapi pengen bgt lihat burung, ada yang general (alhamdulillah kalo bisa lihat, kalo tidak ya tidak apa-apa), ada pula yang khusus datang untuk melihat burung tertentu tapi masih mau camping, tapi ada juga jenis yang terakhir, maunya bisa mandi air panas dan melihat serindit jawa (exclusive)-kebanyakan mereka, orang yang sangat kaya raya
Dari situ, siapa tahu bisa teridentifikasi mungkin saja pertahun ada pangsa pasar wisatawan manca yang rutin ke Jawa Timur, lebih-lebih ke Baluran. Bisa di kumpulkan juga email mereka yang pernah berkunjung (ojo dianggurne thok), sekedar mengucapkan terimakasih telah berkunjung, meminta pesan dan kesan dari mereka (siapa tahu ada yang mau nulis, jadi bisa di sharing di buletin Baluran. Tidak hanya sbegaia data base, namun juga sebagai bahan evaluasi perencanaan kedepan.
Memberi tahu mereka jika ada event di Baluran agar mereka berkunjung, semacam newsletter(sebuah ajang menjemput bola yang cukup murah)-internet nang Batangan masih gratis dan lancar jaya kan?
Dan harapannya bisa kerjasama dengan masyarakat (minimal sebagai porter, lalu guide kemudian interpreter) berarti tidak hanya meningkatkan kapasitas mereka, mengajak mereka peduli alam Baluran namun juga memberi peluang pendapatan ekonomi
Berharap juga ada kerjasama dengan TN Alas Purwo, Tn Meru Betiri, Tn Bromo Tengger Semeru, untuk buat site dan rute pengamatan avitourism TN se-Jawa Timur. ^_^
**iki komentar opo posting anyar jeng? 🙂
anyway, makasih untuk masukannya. iya, kemaren kita ngundang para pelaku bisnis wisata di jawa timur. agenda utamanya sih “menegaskan” bahwa baluran masih indah untuk dikunjungi tentunya dengan berbagai perkembangan sarana dan prasarana yang ada. nah masalahnya aku gak teko, jadi gak ngerti output apa saja dari pertemuan itu.
untuk mengembangkan avitourism, saya pribadi masih belum bisa ambil aksi, masih disibukkan dengan menyelesaikan buku inggris e ca. hah… arep ditinggal yo eman2, diterusno yo sangat menguras banyak energi dan waktu…
LikeLike
nek postingane calon Master Ekowisata yo ngene iki dab,… bersyukur entuk pencerahan ide teko dek(lebih pantas) panca,…
** woooo… iyo..yo.. calon master yo? sembah sungkem kulo suhu… 😀
LikeLike
yo siji-siji,,
Aku pikir seorang mas swiss bisa bekerja lebih giraz dari sekarang 🙂
wkwkwmk..
kopi dan rokok masih banyak terseida,,genjot saja bang…..
sukses ya 🙂
**apane woi sing digenjot? wooo senengane njot2an ki 😀
LikeLike
iyo e,.. saiki panca senengane njot2an,.. tapi ra ngjak2,..
**yo wes nek ngono, awakedewe njot2an wong 2 ae bro hahahaha… huekk…
LikeLike