Terima kasih buat kawan-kawan yang sudah menawarkan diri membantu saya menyelesaikan Buku Burung Baluran (BBB) Versi Inggris. Terutama proses editing bahasa inggrisnya. Meskipun kita gak kenal, tapi niat baik anda-anda … Continue reading Barang Baru di BBB Versi Inggris
“Jadi apa kesimpulan dari pertandingan leg 2 Final AFF 2010 malam ini?” begitu kira-kira pertanyaanku malam ini.
Bahwa rakyat Indonesia masih belum lupa dengan yang namanya nasionalisme. Semua berebut ambil bagian dalam pertandingan yang sangat menguras emosi itu (meminjam kalimat dari sms seorang sahabat). Yang berdomisili di Jakarta dan sekitar rela ngantri beli tiket pertadingan yang konon harga kelas ekonominya sama dengan tiket VIP pada leg 1 di Malaysia. Meskipun tidak sedikit yang jauh-jauh dari pelosok negeri. Yang gak mampu beli tiket langsung, berduyun-duyun ke pusat keramaian di kampung, di kota, di alun-alun untuk nonton bareng. Ada juga yang tidak habis-habisnya update status memberi dukungan moral. Dan masih banyak cara untuk menjadi nasionalis.
Bahwa nasionalisme itu sebenarnya tidak hilang dari ubun-ubun kita. Dia hanya dormansi di bawah kesadaran. Dan pertandingan ini telah meneteskan setetes air untuk memecah masa dormansi itu. Pecahlah dormansi itu dan menjelma menjadi teriakan dan yel-yel tanpa henti sepanjang 90 menit di semua sektor tribun penonton. Menjelma menjadi kucuran keringat dan adrenalin yang dipacu tanpa henti, berlari puluhan kilometer, selama 90 menit oleh para pejuang kita di atas lapangan hijau. Menjadi alasan paling logis bahwa, meskipun kita tidak berhasil memboyong piala, kita masih bisa keluar dari stadion GBK dengan kepala tegak. Timnas sudah menunjukkan jati diri yang sebenarnya. Ini dadaku, ada Garuda di dadaku.
Kedatangan tamu spesial, hunting kali ini serasa beda. Setelah Pak Martjan Lammertink, peneliti Great Slaty Woodpecker dari Cornell Lab of Ornithology USA membatalkan kunjungan ke Baluran karena terkendala urusan imigrasi, lalu Pak Don Hasman yang katanya Desember ini juga mau ke Baluran tapi sampai sekarang belum ada kabar. Tamu yang satu ini sudah lebih dari cukup menadi pengganti dua nama besar di atas. Tapi siapa dia, lu silahkan kira-kira sendiri :).
Dimulai dari HM 50-an jalan Batangan-Bekol. Kami berhenti sejenak karena tertarik dengan atraksi srigunting yang seperti biasanya selalu tampil PeDe. Sambil asik berusaha ngambil gambarnya si srigunting, terdengarlah suara merdu itu. “Aku belum pernah dengar suara kayak gini!” begitu kataku kepada teman saya. Suaranya begitu nyaring, jernih dan empuk di telinga.
Berusaha mencari sumber suara. Scanning tajuk-tajuk atas, gak ketemu. Scanning tajuk tengah, juga gak ketemu. Scanning semak-semak, sambil terus mencicilkan mata. Beberapa saat meng-scanning belum juga ketemu dimana sumber suara yang terus menyanyi riang itu. Sampai akhirnya seperti ada noktah yang mencolok dan mencurigakan seperti pola rangkaian angka-angka matrix di layar komputer. Sebuah pola yang mencurigakan. Segera kujinjing si laras panjang, kuarahkan ke benda mencurigakan itu.
Yup betul. Seekor burung. bertengger di antara rerimbunan semak sambil asyik bernyanyi. Jepret…jepret…jepret… beberapa frame ketangkep sebelum mereka, karena ada 2 ekor, segera menghilang di balik kerumunan semak. Burung apakah itu?
Wooo… new species! Tepus Gelagah atau Chesnut-capped Babbler atau Timalia pileata!
Meskipun kualitas fotonya gak bagus, tapi no problemo. Karena setidaknya ini menambah list burung Baluran. Dan kayaknya nambah halaman lagi di BBB versi inggris.
Lalu lanjut lagi perjalanan menuju savana Bekol. Singkat cerita nyampelah kita di Ketokan Kendal. Hujan deras selama beberapa hari menciptakan beberapa kubangan di sini. Di tengah jalan pun, cekungan-cekungan air berceceran. Dan suara katak itu! Begitu riuh rendah suara mereka, katak dalam jumlah sangat besar, ngorek bebarengan!
Kita saling berpandangan. Ono opo rek? Kok katak sebegitu banyaknya, hampir memenuhi setiap genangan dan kubangan air yang ada, ngorek bareng dengan bantuan “kantung suara” di tenggorokannya. Lagi kawin massal kali ya? Atau upacara suci menyambut datangnya musim penghujan? Tanpa memutuskan apa jawabannya, lansung aja kita berdua ndlosor mengambil angle yang bagus untuk motret.
4
3
2
1
(1) Di antara kerumunan katak-katak itu, adalah si Borokokok yang sedang mendekati si Diana (keduanya terinspirasi dua kawan PEH baluran :D). (2) Walaupun Borokokok tahu kalo si Diana sudah punya suami yang namanya Wahono (juga PEH baluran :D), dia tetap nekad mendekati wanita yang ditinggal suaminya piket di Bama itu. (3) Tahu kalo manusia paling usil se-Baluran mendekatinya, Diana segera mengusirnya dengan kaki mulusnya. (4) Borokokok terpental oleh dorongan kaki Diana. (5) The show must go on, lama gak kumpul sama istri membuat Borokokok maju terus pantat mundur mendekati Diana, eehh… dia malah berani-beraninya njawil Diana! (6) Tahu kehormatannya terancam, tanpa pikir panjang Diana segera menendang Borokokok sekuat-kuatnya menggunakan jurus Tendangan Janda level 10!
Konon akibat perbuatannya itu, Borokokok diadili masa yang berkumpul di semua cekungan dan kubangan Ketokan Kendal sampai babak belur.
Pagi itu, sebelum agenda rapat pembahasan ekspos wisata berlangsung, si tedi dengan tergopoh-gopoh menggampiri aku, dengan muka serius dan abang-ireng, “Neng tower tengah! Jalak Putih neng ngarepku persis ono 12!”
“Hah?” aku langsung terperanjat. “Rolas?” dengan mata agak mendelik.
Jalak Putih dengan angka segitu memiliki 2 arti, pertama adalah berita paling membahagiakan selama aku di Baluran karena sejauh ini jumlah pertemuan tidak lebih dari 7 ekor. Tahun lalu malah paling banyak ketemu 3 ekor. Berarti mereka masih “cukup aman”, setidaknya jumlahnya bertambah dari tahun kemarin. Kedua, berita itu seakan-akan tedi sedang mengiming-imingi aku, “Ayolah… masak gak tergoda memburu fotonya?” kurang lebihnya begitu dengan mukanya yang memang sudah mesum sejak lahir.
Wuokee… kenapa takut! Jadi sepanjang rapat kita berdua asyik sendiri ngrasani si jalak. Begitu rapat sedang break makan siang, kita berdua langsung berkemas mempersiapkan alat. Rapat dilanjutkan, semua peserta rapat masuk ke ruang, kita berdua ngacir meluncur ke Bekol. Ke Tower Tengah, lokasi keramat bagi Jalak Putih karena selalu disana mereka terpantau.
Musik, kata pujangga adalah bahasa hati yang taktertampung oleh kata pun warna. Bagi musisi adalah darah dimana kehidupan mereka terus mengalir dan mengalir. Untuk seorang budayawan, musik adalah bahasa dan logika yang paling mudah dimengerti oleh setiap kebudayaan di dunia. Bahkan, bagi negarawan, musik adalah emblem yang menempel di lengan kemeja kebangsaan, mensimbolkan siapa sebenarnya kita. Musik, bagi agamawan adalah ayatun min ayatillah, sesuatu yang bisa mengantarkan kita kepada Allah karena dia dimainkan dengan segala rasa cinta dan kangen kepada Yang Maha Maestro.
Lalu datanglah arus globalisme itu, gelombang dasyat yang ditunggangi kepentingan modal, ideologi bahkan politik. Musik disulap menjadi menjadi alat transfer penguasaan ekonomi, propaganda ideologi dan iklan politik yang membuat orang-orang terbuai dan bahkan tertipu. Musik lambat laun kehilangan nadanya. Alat-alat musik itu perlahan dan pasti lupa dengan suaranya. Bahwa nonton ndangdut bukan cengkok suaranya yang khas yang dimikmati, tapi lenggok bokong penyanyinya yang dinanti-nanti. Bahwa mereka suka group band bukan semata-mata kualitas kolektifitas permainan mereka yang menarik perhatian, tapi wajah ganteng, body atletis adalah agenda yang tidak boleh ketinggalan.