“Jadi apa kesimpulan dari pertandingan leg 2 Final AFF 2010 malam ini?” begitu kira-kira pertanyaanku malam ini.
Bahwa rakyat Indonesia masih belum lupa dengan yang namanya nasionalisme. Semua berebut ambil bagian dalam pertandingan yang sangat menguras emosi itu (meminjam kalimat dari sms seorang sahabat). Yang berdomisili di Jakarta dan sekitar rela ngantri beli tiket pertadingan yang konon harga kelas ekonominya sama dengan tiket VIP pada leg 1 di Malaysia. Meskipun tidak sedikit yang jauh-jauh dari pelosok negeri. Yang gak mampu beli tiket langsung, berduyun-duyun ke pusat keramaian di kampung, di kota, di alun-alun untuk nonton bareng. Ada juga yang tidak habis-habisnya update status memberi dukungan moral. Dan masih banyak cara untuk menjadi nasionalis.
Bahwa nasionalisme itu sebenarnya tidak hilang dari ubun-ubun kita. Dia hanya dormansi di bawah kesadaran. Dan pertandingan ini telah meneteskan setetes air untuk memecah masa dormansi itu. Pecahlah dormansi itu dan menjelma menjadi teriakan dan yel-yel tanpa henti sepanjang 90 menit di semua sektor tribun penonton. Menjelma menjadi kucuran keringat dan adrenalin yang dipacu tanpa henti, berlari puluhan kilometer, selama 90 menit oleh para pejuang kita di atas lapangan hijau. Menjadi alasan paling logis bahwa, meskipun kita tidak berhasil memboyong piala, kita masih bisa keluar dari stadion GBK dengan kepala tegak. Timnas sudah menunjukkan jati diri yang sebenarnya. Ini dadaku, ada Garuda di dadaku.
Bahwa kita tidak usah lagi bermain-main dengan nilai-nilai normatif. Pelajaran kewarganegaraan, PPKN, penataran, prajabatan dan segala macam tetek bengeknya. Semua itu hanya hantu. Ghoib. Nasionalisme bukan teori, bukan pelajaran, bukan pula tuhan. Nasionalisme adalah apa yang bisa kita lakukan untuk bangsa. Nasionalisme sepakbola.
Bahwa para pemain Timnas kita sudah berjuang sedemikian kerasnya. Jatuh bangun dihantam kakinya, disikut kepalanya, diejek permainannya. Yang mereka tahu hanyalah bola itu harus dimasukkan ke gawang lawan. Tidak ada embel-embel politik kaum elite, embel-embel bisnis pejabat, mark up dana operasional, atau apalah. Mereka sudah shirothol mustaqim. Tapi sayang PSSI belum ikhlas dengan itu. Mereka tidak rela kalau yang dielu-elukan hanya para pemain, jadi gak dapat satu gak dapat semuanya. Dan ketua PSSI? Si N****** H**** (saya bahkan gak ikhlas menulis namanya di halaman ini) adalah satu-satunya orang yang tidak dirugikan dari kondisi ini. Tidak penting bagi dia Timnas kalah atau menang. Kekuasaan dan kekuatan bagaimanapun juga adalah bir yang sangat memabukkan.
Bahwa Timnas kita adalah anak emas yang di-anak tiri-kan. Mereka selama ini terlalu sering kita lecehkan. Dan kalo kita gak percaya dengan mereka, bagaimana mungkin mereka percaya kepad kita lalu memberikan yang terbaik? Mereka sering kita banding-bandingkan dengan tim besar dunia macam Brazil, Spanyol, German. “Pemain luar iku lo lek ngumpan mesti iso pas, mlayune yo banter-banter. Gak kayak Indonesia! (Pemain luar negeri itu lo umpannya selalu terukur, larinya juga cepat. Gak seperti Indonesia!)”, atau “Wes tala, kalah kalah Indonesia! (Sudahlah, Indonesia pasti kalah!)” itulah kata-kata yang selalu saya dengar kalo nonton pertandingan Timnas dulu. Tapi pada piala AFF ini, nyaris saya tidak mendengar kalimat itu. Sepertinya rakyat Indonesia sudah menaruh kepercayaan dan harapan yang besar pada Timnas. Dan memang inilah yang sebenarnya dibutuhkan oleh Timnas: perhatian dan kepercayaan. Biarkan mereka bekerja dengan caranya, kita dukung dengan cara kita.
Bahwa Indonesia tidak menjadi juara Piala AFF iya. Bahwa Malaysia adalah juaranya iya. Tapi tetap Indonesia adalah tim terbaik se-Asia Tenggara. Dari semua tim, hanya Timnas Indonesia yang kalah sekali, tanpa draw! Malaysia masih kalah 2 kali dengan draw sekali. Saya yakin, meskipun tidak merebut tangga juara, semua rakyat Indonesia tetap bangga dengan permainan Timnas. Jadi tidak menjadi juara tahun ini saya memaknainya sebagai sebuah investasi. Kita tahan dulu hura-hura juara. Timnas sudah menunjukkan permainan yang impresif dan jauh jauh lebih baik dari kemarin. Kejuaraan berikutnya, apapun itu, adalah masanya memanen investasi yang sudah kita tanam begitu lama.
Inilah Timnas kita. Pejuang kehormatan bangsa kita. Aku, dan semua rakyat Indonesia bangga kepadamu.
Ini dadaku. Ada Garuda di dadaku.
Setuju masbro,.. TIMNAS ki ra kalah,.. TIMNAS menang,.. yang mebedakan cuma bahwa PIALA AFF dibawa ke Malaysia. Tapi TIMNAS berhasil menanamkan RASA NASIONALISME di dada Rakyat Indonesia,.. Tim TERBAIK,.. IYA. TIMNAS tim terbaik se Asia Tenggara,..
Apa pun hasil akhir pertandingan wingi bengi aku tetep bangga karo TIMNAS, bukan PSSI,..
LikeLike
Saya ngga ngerti masalah politik2 PSSI dan nurdin itu hehe, yang saya tau, Timnas uda berhasil membius masyarakat di Indonesia dengan cara mereka sendiri, jatuh bangun di lapangan demi nama bangsa… ah, pokoknya saya bangga timnas mainnya bagus di GBK kemarin! 😀
Semoga ada kesempatan nonton live taun2 berikutnya 🙂
**MERDEKA MBAK! 😀
LikeLike
apresiasi tinggi jg pada suporter Indonesia “tidak ada” laser, petasan kaliber 100 mm, tabung LPG 3 Kg, tidak ada kerusuhan. 4 Jempol bwt suporter Indonesia.
Namun masih ada asa yg tersisa, “tidak perlu naturalisasi” mungkinkah?
**naturalisasi itu kan gak hanya di dunia bola to bro. banyak juga to orang asing yang menjadi WNI? jadi kenapa gak dengan naturalisasi? 😀
LikeLike