Film ini mengingatkan saya pada film keluaran 11 tahun yang lalu, Vertical Limit. Film-film tentang drama penaklukan puncak-puncak dunia bagi saya selalu menyuguhkan aksi yang menguras energi, emosi dan perbendaharaan istilah pisuhan. Apalagi jika drama penaklukan puncak-puncak dunia itu harus dilalui dengan menaklukkan tebing 90 derajat ratusan sampai ribuan meter tingginya. Ah, salah satu kegilaan yang harus aku hapus dari wish list-ku.
Yang membedakan film ini dengan pendahulunya itu adalah, North Face bukan buatan Hollywood. Artist-nya sama sekali gak aku kenal. Pake bahasa Jerman pula. Dan dia diambil berdasarkan kisah nyata. Itulah sebabnya kenapa dramatisasi film ini tidak se-lebay Vertical Limit.
Adalah Andreas Hinterstoisser dan Toni Kurz dua pemanjat asal Jerman yang melakukan pendakian ke puncak Eiger pada tahun 1936. Mereka adalah tentara Nazi Jerman yang nekat keluar dari satuannya jalaran tidak diijinkan oleh komandan mereka ambil cuti demi menaklukkan puncak pegunungan Alpine itu. Dan kenekadan mereka dilanjutkan dengan mengayuh sepeda, membawa alat-alat climbing yang berat itu, dari Jerman sampai Kleine Scheidegg. Tempat dimana cerita dramatis mereka dimulai.
Equipment panjat tebing pada tahun segitu bisa dibayangkan bagaimana “primitif”-nya. Mulai dari sepatu panjat yang mirip sepatu PDH PNS di kantor saya. Tasnya seperti tas ransel yang dipakai latihan tentara jaman PD II. Nuts, semacam besi panjang yang digunakan untuk mengaitkan carabiner di tebing memang terbuar dari besi yang mereka tempa sendiri. Bayangkan betapa beratnya carier mereka untuk membawa besi sebanyak itu. Tidak ada webbing atau apalagi harness. Talinya pun lebih kelihatan seperti tali tambang kuda daripada tali climbing. Dan mereka harus menaklukkan tebing setinggi itu!
Alur cerita dan perpindahan scene satu ke scene yang lainnya sangat rapih. Penonton seakan benar-benar diajak memahami karakter dan kondisi psikologis seorang pemanjat yang keras dan tegar, di sisi lain ada seorang wanita kota yang bekerja sebagai jurnalis. Penonton digiring untuk memahami betapa benar-benar kerasnya kehidupan seorang pemanjat. Makan malam yang rapi dan licin saja mereka tidak punya.
Menginjak pada adegan pendakian, disinilah kekuatan film itu yang sebenarnya. Pengambilan gambar di atas tebing yang tuinggiii itu, wuihh.. bener-bener bikin bulu ketiakku berdiri semua. Sebenarnya saya malu mengatakan ini, tapi saya tidak mau menutupi kenyataan bahwa saya punya penyakit high phobia. Kelihaian mereka merangkak bahkan berlompatan di atas tebing tegak lurus disajikan dengan sangat lugas dan tidak berlebihan. Sepertinya jalan mereka menuju puncak tidak ada masalah. Cuaca cerah sangat membantu mereka.
Masalah datang ketika kompetitor mereka, Willy Angerer dan Edi Rainer yang dari Austria itu. Kalo gak salah Edi Rainer (sori lupa banget) yang sejak awal pendakian sudah bocor kepalanya karena kena longsoran batu sudah tidak mampu meneruskan pendakian tapi terus memaksakan diri. Jiwa solidaritas pendaki pun teruji di sini. Akhirnya keempat pendaki itu sepakat kembali turun untuk menyelamatkan nyawa rekan mereka. Cita-cita menaklukkan Eiger pun dibatalkan. Namun pada kelanjutannya, masalah demi masalah menghantam mereka. Perjalanan turun ternyata tidak semudah naiknya.
Sepertinya dalam adegan pendakian tidak akan menarik kalo gak ada yang tewas. Ya, dalam drama ini harus ada yang tewas untuk menjaga tradisi keangkeran aktifitas ekstrim ini. Tapi bagaimana drama menyedihkan itu terjadi. Siapa yang mati duluan? Bagaimana detik-detik terakhir sebelum nyawa mereka malayang? Itulah yang harus anda saksikan sendiri. Dan jangan lupa, masih ada satu tokoh lagi yang belum saya ceritakan, si jurnalis kota yang meliput historical moment itu. Apa yang terjadi dengannya, apa hubungannya dengan para pendaki itu? Dan drama apa lagi yang terjadi antara mereka? Saya kira anda harus menyaksikannya sendiri dalam sandiwara radio… Rai Lor! 😀
Mas Swis, kok pake kata “menaklukan”?? gak ada yg bisa menaklukan puncak atau tebing kan?
😀
**namanya juga diksi jeng… apa kamu mau saya taklukkan juga? hehehe…
LikeLike
Jamput, kalimatmu bagian iki gak enak ndhes, blas gak enak..!!! :
“Sepertinya dalam adegan pendakian tidak akan menarik kalo gak ada yang tewas. ”
lha bojoku pemanjat je…
**yo wes ganti profesi tukang ojeg ae. opo jogo kuburan. piye? 😀
LikeLike