“Lalu apa itu Tahun Baru?” aku bertanya.
“Tahun baru adalah harapan baru.” jawab seorang lelaki yang baru diputus pacarnya.
“Tahun baru adalah hasil akhir dari sebuah kerjasama yang apik antara grafitasi bumi, matahari dan alam semesta yang membuat semua ketetapan hukum alam tidak melenceng dari kesepatakan.” kata filsuf fresh graduated.
“Untuk itu kontrak kerjasama ini harus dilanjutkan sehingga daripadanya tata kelola kehidupan bermasyarakat alam semesta tetap terjaga.” sahut PNS gondrong berkaos oblong.
“Tahun baru berarti waktunya untuk mengevaluasi pemerintahan SBY lalu bikin demo besar-besaran!” sloroh seseorang yang tidak mau disebutkan namanya.
“Tahun baru berarti malam panjang, hiburan dimana-mana, bergadang sampai pagi sama teman-teman, mas!” ujar seorang anak baru SMP.
“Kalo menurut saya cak, tahun baru itu itung-itungan yang membingungkan. Saya denger-denger tanggalan umum ini ditetapkan berdasarkan kelahiran cak Yesus. Padahal Natal itu sendiri tanggal 25 bulan 12. Jadi yang mana yang hari lahirnya cak Yesus? Tapi menurut hemat saya, biar gak engkel-engkelan, tahun baru itu tidak lain tidak bukan merupakan selametan selapanan-nya (peringatan tujuh hari dalam adat Jawa) cak Yesus.” usul juragan besi tua Madura.
“La trus, kalo ada yang ikut tahun baruan, berarti mereka ikut selametan selapan itu Gus?” tanya saya kepada seorang imam di langgar kampung saya.
“Ya tergantung niatnya, Le.” jawab dia singkat. “Kalo orang itu memang niatnya tahun baruan ya berarti iya, tapi kalo niatnya cuma sekedar mumpung maka dia telah melakukan hal yang unwarranted! Useless!” lanjut dia ditutup dengan istilah keren sambil muncrat air ludahnya.
“Lalu apa salahnya kalo unwarranted? Mumpung?” protes seorang bakul terompet tidak terima. “Mau peringatan lahirnya Yesus, apa mau selapannya, yang penting kan ada manfaat ekonomi buat pedagang kecil seperti saya?” lanjut dia masih dengan agak emosi. “Coba sampeyan bayangkan berapa milyar omset bakul terompet sak Indonesia kalo dikumpulkan jadi satu karena ada tahun baruan? Belum lagi bakul kembang api, mercon, kembang tetes, es cendol, dawet Ponorogo, bakso Malang, pukis Banyumas, gudeg Jogja, soto Lamongan, apem Pasuruan, getuk Kalimantan, pete Ambon, rujak Gresik, tempe Sulawesi, kacang goreng, rokok, menyan, kondom?” tutup si bakul sempurna.
Dari pojok ruangan ada yang berteriak, “La salahnya sendiri siapa suruh jadi bakul terompet!” disambut tawa dan gemuruh para peserta sidang akhir tahun.
Dalam hati saya cuma bisa nggremeng, “Kalo sudah ngomong gini, jangan sampe nyenggol apa hukum rokok! Haram, halal! Bisa-bisa malah saya yang emosi ntar.”
Mungkin saja tahun baru adalah penegasan melalui sebuah bahasa paling lugas yang bisa diterima oleh banyak orang, bahwa kita sekali lagi harus diingatkan bahwa ada tiga macam waktu di dunia ini: masa lalu, sekarang, dan akan datang. Dan kita, makhluk yang kadang suka GeeR sama kehebatan diri sendiri harus disadarkan lagi dimanakah kaki kita menginjak? Akankah kita menjadi manusia skeptis yang selalu berada di masa lalu, ataukah kita menjadi manusia hedonis yang berada di masa sekarang dan tidak mau tahu dengan sejarah dan takdir akan datang, ataukah kita menjadi manusia pekerja yang menatap ke depan dan melihat perubahan yang baik di sana. Saya tidak tahu.
Mungkin juga tahun baru adalah media propaganda pemilik modal yang disebarkan ke seluruh dunia bahwa kita tidak usah repot-repot cari alasan untuk bersenang-senang. Bahwa sampeyan tidak perlu tahu kenapa sampeyan beli terompet, beli kembang api, nonton acara tivi gebyar akhir tahun, kebut-kebutan di jalan, atau bahkan hanya sekedar mbakar jagung. Kadang kita untuk bersedekah kepada pengemis saja harus melalui debat panjang lebar, bahwa perbuatan memberi uang pengemis itu tidak mendidik, membudayakan malas dan lain sebagainya, tapi untuk bersenang-senang kita sering bablas tanpa didahului pertimbangan yang bijaksana.
Ya Allah ya Tuhanku. Saya tidak tahu apa-apa tentang semua ini. Saya cuma keminter, sok tahu tentang definisi. Padahal tidak ada yang lebih definitif selain Engkau. Bodoh membuat saya jadi keminter ya Tuhanku. Bodoh karena hamba tidak mampu meladeni kecepatan larinya jaman ini. Semua menjadi serba absurd, gelap, retak bahkan patah. Di tengah hiruk-pikuk ini hamba kesepian. Di tengah keramaian duniaMu ini hamba sesak tidak bisa bernafas. Sekap saja hamba… sekap hamba dalam kesunyianMu Gusti.