Saya selalu heran setiap kali mendengar jawaban adik-adik kelas saya semasa kuliah saat ditanya, “Kenapa kalian masuk kehutanan?” lalu dijawab dengan agak-agak bingung juga, “Ingin menyelamatkan hutan!” ada juga yang menjawab dengan redaksi berbeda, “Ingin menjadi seorang conservasionist!” Mungkin jika pertanyaan itu dilayangkan kepada saya 13 tahun yang lalu, jawaban sama yang mungkin saya berikan. Hutan adalah tempat terindah di muka bumi. Hutan menjadi salah satu faktor paling penting terhadap kehidupan semua organisme di planet ini. Termasuk manusia! Tapi bukan berarti bekerja di hutan, apalagi menyelamatkannya adalah perkara mudah apalagi menyenangkan.
Saya menghabiskan waktu 5,5 tahun, sejak 1999, kuliah di Fakultas Kehutanan UGM dan berakhir dengan Indeks Prestasi (IP) Kumulatif 2,85. Tidak sekalipun saya dapat IP 3! Dengan IP seadanya, mau bekerja apa saya? Dimana? Gaji berapa? Kaya? Jangan harap! Untung dulu Yayasan Kutilang Indonesia (YKI) membuka pintu bagi saya untuk bekerja. Bekerja di sebuah LSM lokal kecil-kecilan tentu masih jauh dari level “menyelamatkan hutan”. Meskipun hutan Merapi adalah halaman bermain saya, tetap saja dia masih terlalu besar bagi saya. Hanya burung-burung cantik nan mempesona itu yang bisa saya mesrahi. Tapi ada satu hal besar yang saya peroleh dari LSM ini, sesuatu yang sangat penting bagi perjalanan karir saya di dunia kehutanan: proses belajar! Dan “sesuatu” itu bahkan tidak saya dapatkan semasa kuliah.
Tepat tiga tahun bekerja di YKI. Tahun 2008 saya mendapat kesempatan bekerja di Kementerian Kehutanan. Diposisikan di Balai Taman Nasional Baluran sebagai Pengendali Ekosistem Hutan (PEH). Saya berpikir, mungkin ini saatnya menjadi “penyelamat hutan”. Apalagi dengan gelar “pengendali”, ditambah kekuatan sebuah negara di belakang saya! Wow! Seakan-akan hutan sudah di tangan saya dan saya bisa melakukan apa saja terhadapnya. Tapi sekali lagi, “menyelamatkan hutan” adalah sesuatu yang sama sekali tidak mudah. Mungkin sepertinya saya harus mengubah definisi tentang “menyelamatkan” dan “hutan”. Kenapa?
Pertama, hutan, dimanapun dan sampai kapanpun, ternyata bukan semata-mata kumpulan pohon dan satwa yang hidup di dalamnya. Hutan adalah ladang emas hijau yang diperebutkan oleh banyak sekali kepentingan. Baik kepentingan pribadi, golongan, atau bahkan negara yang punya otoritas terhadap hutan itu sendiri. Menjadi pendekar penyelamat hutan berarti sampeyan harus siap-siap berhadapan dengan kepentingan-kepentingan itu.
Kedua, menjadi “pengendali ekosistem hutan” yang sesungguhnya berarti menuntut saya harus menguasai tidak hanya ilmu kehutanan, tapi juga biologi, taksonomi, ekologi, klimatologi, hidrologi, sosiologi, anthropologi, bahkan politik jika perlu. Adakah manusia di bumi ini yang bisa seperti itu? Sekali lagi, hutan jangan dipandang hanya sebagai kumpulan pepohonan dan satwa saja. Hutan adalah sebuah entitas yang sangat komplek, njlimet!
Jadi apa dong yang harus dilakukan untuk menjadi seorang conservationist?
Melihat betapa rumitnya hutan membuat saya berpikir bahwa hutan tidak seharusnya diperlakukan holistik seperti itu. Saya harus mengambil sudut terkecil dan yang paling mungkin bisa saya lakukan. Sesuai dengan pengalaman tiga tahun di YKI maka itu adalah burung! Mengamati setiap detail burung-burung di Taman Nasional Baluran, mencatatnya dan mendokumentasikannya. Alhamdulilah setelah hampir empat tahun bermesraan dengan burung, dua buku tentang burung-burung di Taman Nasional Baluran sudah saya buat. “Burung-burung Taman Nasional Baluran” dan “Birds of Baluran National Park”. Tentunya dengan dibantu oleh kawan-kawan PEH di Baluran.
Tapi jangan sekali-kali menganggap saya adalah ahli burung apalagi ornithologist. Saya hanya orang yang suka motret. Dan burung adalah obyek paling empuk dan menyenangkan. Saya sudah lupa berapa ratus jenis burung yang sudah saya abadikan dalam pixel-pixel sensor kamera. Kalaupun ada jenis lain yang bisa difoto sudah pasti saya ambil. Mamalia, reptil, serangga, bunga liar, atau ikan karang. Dengan foto-foto itu, apalagi kalau sudah ditulis menjadi sebuah buku, akan menjadi bukti betapa kayanya bumi Indonesia dan selalu mengingatkan bahwa kalau bukan kita siapa lagi yang akan menjaga mereka.
Jadi sodara-sodaraku semua, untuk menyelamatkan hutan pada akhirnya tidak sesulit dan serumit yang kita bayangkan. Karena hutan yang komplek itulah yang memudahkan kita memilih mau masuk lewat pintu sebelah mana untuk menjadi bagian dalam melestarikannya. Yang jelas pintu itu harus kita yang memilih karena kita menyenanginya. Menjadi apapun kalau kita ridho dan istiqomah maka kesuksesan sajalah satu-satunya efek samping yang diterima.
Ada satu tips jitu untuk mencapai kesuksesan. Waktu itu kalau tidak salah tahun 2005, saat saya masih bekerja di YKI. Saya bertemu dengan Pak Wahyudi Wardoyo yang waktu itu menjabat sebagai Dirjen PHKA. Saya bertanya kepada beliau tentang tips sukses sebagai seorang forester. Beliau menjawab, “Kunci sukses itu ada dua, banyak bekerja, dan banyak bicara!”
Melakukan sesuatu untuk hutan, jika diawali dengan kesenangan dan keikhlasan akan membuat kita selalu dalam kondisi full charged! Setiap hari selalu saja ada semangat untuk terus bekerja. Melakukan ini itu dan disana-sini. Dengan begitu, satu kunci sukses sudah kepegang tangan: banyak bekerja. Tapi jangan lupa, kita harus banyak bicara juga. Banyak bicara tidak harus diartikan suka mengumbar apa saja dari mulut. Banyak bicara adalah bagaimana orang lain tahu tentang apa yang kita lakukan dan kita hasilkan. Sehingga dengan begitu, semua kerja keras kita minimal akan mendapat apresiasi dan dukungan dari orang lain, syukur kalau bisa menjadi inspirasi.
Jadi, mari mulai dari yang paling mudah, menyenangkan, banyak bekerja dan banyak bicara.
wah..hebat..bisa jadi Andri Wongso kedua nih…:)
LikeLike
widiiih… hutan memberikan kita banyak pelajaran yo mas 🙂
anw aku setuju kamu menyebutkan hutan sebagai sebuah entitas.. *kelingan pelajaran ekonomi*
**makanya ayo ke hutan lagi jeng (hutan Baluran aja ya hehehe..)
LikeLike
curhat yang mencerahkan…jadinya tercerahkan neh..
** hehe.. makasih mbak 😀
LikeLike
salam kenal mas..saya pernah satu kali ke baluran,ketemu PEH namanya pak wiwid.mungkin pean kenal?,
**salam kenal juga mbak, pak wiwid? woo ya jelas kenal banget. itu orang paling terkenal sak baluran e hehehe…
LikeLike
hidup forester,,,,,,,,,,,,
jadikan hutanmu lebih produktif,,,,,,
LikeLike
ha ha ha.. banyak bekerja banyak bicara…
wuih… memang avatar indonesia dipegang PEH Kemenhut
banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan…
**laksanakan komandan! hehe..
LikeLike
still dan mliwis sekali 😀
LikeLike