Menjadi Citizen Scientist di Kawasan Konservasi

Sekilas Tentang Hutan Indonesia

Indonesia adalah negara megabiodiversity, itu adalah fakta. Kekayaan hayati yang melimpah membuatnya menjadi negara dengan kekayaan hayati tertinggi setelah Brasil meskipun luas hutannya ketiga di dunia. Kekayaan hayati Indonesia dibandingkan dengan jumlah total yang ada di dunia adalah 10 persen spesies tanaman berbunga, 12 persen spesies mamalia, 16 persen spesies reptilia dan amfibia, 17 persen spesies burung, serta 25 persen spesies ikan. Tapi, di sisi lain, Indonesia adalah negara dengan laju deforestasi terbesar di dunia! Itu juga fakta! Dan itu menyakitkan!

Dalam setahun 1,7 juta hektar hutan Indonesia musnah, atau setara dengan 3,23 hektar per menit! Bahkan tahun 2005-2008, menurut laporan yang dikeluarkan oleh FAO dalam State of the World’s Forests 2007, laju kerusakan hutan Indonesia mencapai 1,8 juta hektar per tahun! Luar biasa!

Luas hutan Indonesia (minus kawasan perairan) berdasarkan data Kementerian Kehutanan per Juli 2011 adalah 130.786.014 hektar. Hanya 20,9 juta hektar atau kurang dari 16% masuk dalam status kawasan konservasi. Sisanya masuk dalam status Taman Buru (0,1%), Hutan Lindung (24%), Hutan Produksi Terbatas (17%), Hutan Produksi (26%) dan HPK (16%). Jika hutan adalah tempat tinggal bagi sumber daya alam hayati kita, maka 130 juta hektar itu adalah benteng pertahanan terakhir untuk bagi sumber daya alam hayati kita. Label negara megabiodiversity dipertaruhkan di dalamnya.

Kawasan konservasi yang dilindungi oleh perudangan-undangan negara Republik Indonesia bukan berarti aman dari ancaman kerusakan. Perambahan hutan, penebangan liar, kebakaran hutan praktik pertambangan baik yang liar maupun masih dalam wilayah abu-abu di kawasan konservasi masih terjadi di 527 unit kawasan konservasi hingga hari ini. 527 unit kawasan konservasi itu terdiri dari 50 unit Taman Nasional, 118 unit Taman Wisata Alam, 22 unit Taman Hutan Raya, 24 unit Taman Buru, 248 unit Cagar Alam, 75 unit Suaka Margasatwa, dan untuk kawasan konservasi laut, telah ditetapkan 7 unit Taman Nasional, 5 unit Cagar Alam, 2 unit Suaka Margasatwa, 14 unit Taman Wisata Alam.

Indonesia Yang Kaya, Indonesia Yang Miskin

Meskipun berlabel negara megabiodiversity, ternyata data keanekaragaman hayati Indonesia sangat minim. Jangankan data sampai pada ranah genetic, data spesies saja kita masih lemah. Pemetaan genetic dan spesies sangat penting untuk mengetahui sifat hayati sehingga bisa diketahui perilaku konservasi, pemanfaatan dan teknik budi dayanya. Lemahnya data dasar hayati menyebabkan banyak dampak tidak menyenangkan, antara lain:

a.    Tidak diketahui potensi kekayaan hayati yang sesungguhnya.
b.    Tidak diketahui pasti tren penurunan atau kenaikan populasi.
c.    Tidak diketahui bagaimana pemanfaatan secara berkelanjutan potensi hayati.
d.    Potensi kehilangan hak paten terhadap pemanfaatan hayati (biopiracy).

Kekayaan hayati Indonesia telah menarik perhatian banyak peneliti asing untuk melakukan riset di Indonesia. Hal ini menyebabkan data-data penting tentang kekayaan hayati Indonesia justru dimiliki dan dikelola dengan sangat baik oleh asing. Bahkan tidak jarang, data-data itu kemudian dimanfaatkan dalam skema penguasaan paten terhadap produk-produk yang menggunakan bahan dasar dari alam Indonesia, kita sebut itu sebagai praktik biopiracy atau pembajakan keanekaragaman hayati. Sialnya, dan yang lebih menyakitkan, produk-produk itu kemudian dijual dan dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sendiri. Salah satu contoh biopiracy yang dilakukan oleh negara asing seperti paten atas kandungan sylimarin dalam kunyit Curcuma longa didaftarkan di oleh ilmuwan Bandung. Sebelumnya, curcumin dalam temulawak Curcuma xanthorrhiza juga telah dipatenkan di Amerika Serikat.

Potensi keanekaragaman hayati yang telah kita gunakan, rata-rata kurang dari 5%. Selain itu, dari 1.790 paten per tahun, paten yang dihasilkan dari aplikasi lokal hanya 117,3 saja. Selain itu dari total 28.000 spesies tumbuhan obat di Indonesia, telah diidentifikasi 1.845 sifat obat. Hingga saat ini, baru 283 spesies yang telah dieksplorasi aktif senyawanya.

Di sisi lain, bentuk pemanfaatan hayati di Indonesia masih banyak yang bersifat ekstrasi. Praktik yang paling banyak dipakai adalah pengambilan satwa dari habitat aslinya untuk diperdagangkan. Individu-individu yang beredar di pasaran jauh lebih banyak yang berasal dari alam daripada hasil penangkaran. Hal ini sangat berpotensi menyebabkan kepunahan jenis-jenis tertentu. Contoh yang cukup mengenaskan adalah burung Cucak Rawa Pycnonotus zeylanicus. Burung ini hampir dipastikan sudah punah (di alam) di Jawa dan kemungkinan juga di Sumatra. Dan yang paling menyakitkan apalagi kalau bukan Harimau Jawa Panthera tigris sondaica dan Harimau Bali Panthera tigris balica. Harimau Jawa telah dinyatakan punah sejak tahun 1972 dan Harimau Bali punah sejak  1937. Seperti apa wujudnya kita bahkan tidak tahu dan tidak akan pernah tahu.

Pengelolaan data spesies sebenarnya sudah dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai otoritas ilmu pengetahuan negara. Setidaknya LIPI menyimpan 2 juta spesimen tumbuhan terdiri atas herbarium kering, herbarium basah, buah kering, biji, paku-pakuan, dan lumut. Fauna ada 2,7 juta spesimen sebagai koleksi ilmiah zoologi, yang terdiri atas 25.500 spesimen mamalia, 30.500 burung, 2.280.000 serangga, 11.000 amfibi, 8.000 reptil, 140.000 ikan, 180.000 moluska, dan sekitar 25.000 invertebrata lain. Tapi jumlah itu belum mencakup jumlah spesies yang ada di Indonesia. Sangat bisa dimaklumi.

Rendahnya sumberdaya manusia dan jumlah peneliti professional bisa jadi adalah factor utama penyebab minimnya data tentang kekayaan hayati Indonesia. Dominasi tulisan-tulisan ilmiah di berbagai jurnal ilmiah baik di dunia, bahkan di Indonesia sendiri, masih didominasi oleh nama-nama peneliti asing. Begitu juga dengan buku-buku karangan penulis lokal, masih sangat sedikit.

Tentunya, rendahnya sumberdaya manusia bukan satu-satunya faktor penentu. Kebijakan pemerintah, pendanaan dan apresiasi masyarakat terhadap hasil-hasil penelitian yang rendah juga menjadi penyebab yang tidak bisa diremehkan. Untuk itu mari kita mengambil peran yang paling mungkin kita lakukan untuk membantu tugas para peneliti. Tugas yang bisa dilakukan oleh seorang warga negara biasa. Bahwa pekerjaan penelitian tidak harus menjadi tugas dan tanggung jawab peneliti saja. Jika tanggung jawab terhadap ketersediaan data hayati dan pengetahun bagaimana pemanfaatan yang berkelanjutan hanya dibebankan kepada para peneliti professional saja, bisa dipastikan kita akan kalah cepat dengan laju deforestasi Indonesia yang luar biasa itu. Untuk itu, menjadi second layer (pelapis kedua) dalam mengumpulkan data hayati adalah cara terbaik. Kita bisa ambil bagian dalam skema Citizen Science.

Citizen Science

Citizen science secara umum diartikan sebagai penelitian ilmiah yang dilakukan peneliti amatir baik di sela waktu paruh atau semua waktu yang dimiliki. Secara khusus, citizen science diartikan sebagai proses sistematik dalam pengumpulan dan analisa data; mengembangkan teknologi; uji coba fenomena alam; dan diseminasi aktifitas-aktifitas tersebut oleh peneliti-peneliti yang berbasis hobi. Bentuk aktifitas citizen science bisa bermacam-macam namun biasanya adalah mengelola sendiri waktu dan instrument pendukung untuk mendapatkan data yang diinginkannya atau atas bagian dari sebuah proyek besar.

Di Indonesia, istilah citizen science masih sangat asing atau bahkan sangat tidak kenal meskipun pada kenyataannya banyak yang sudah mempraktikan skema ini. Para mahasiswa yang melalui organisasi pecinta, misalnya, melakukan kegiatan eksplorasi lalu mengelola data hasil eksplorasinya menjadi informasi tertentu adalah citizen science. Atau penghobi foto satwa liar yang rutin hunting foto lalu menyimpan baik-baik data dari foto-fotonya seperti lokasi dan nama spesies bidikannya. Pengamat burung dengan catatan-catatan perjumpaannya. Dan masih banyak lagi.

Sayangnya, masyarakat Indonesia tidak memiliki budaya dokumentasi dan menulis yang baik. Bukan menulis puisi, tapi menulis cerita atau bahkan laporan dari pengalaman pribadinya, meskipun sederhana. Kebiasaan ini yang menyebabkan banyak pengetahuan, informasi atau data yang diperoleh menjadi tidak berguna. Padahal jika pengetahuan dan informasi yang dimiliki oleh tiap orang didokumentasikan dan ditulis dengan baik akan memberi manfaat yang sangat besar.

Jurnal ilmiah atau semi ilmiah sangat banyak untuk memfasilitasi setiap informasi yang kita miliki. Bahkan di era informatika dimana teknologi internet sudah bukan makhluk ghoib lagi, lahan untuk menulis dan menyebarkan tulisan terbuka sangat lebar. Ada banyak web jurnalistik, instasi pemerintah, LSM yang siap menyiarkan informasi kita. Atau website pribadi (blog) adalah salah satu pilihan yang layak dipilih. Bahkan jika perlu update status di laman jejaring sosial Facebook atau Twitter juga bukan masalah.

Beberapa contoh citizen science yang sudah dikelola dengan baik, meskipun mungkin mereka tidak sadar telah menjadi citizen scientist, seperti agenda tahunan monitoring burung pantai Indonesia (Mobupi). Tiap setahun sekali, selama beberapa hari, semua pengamat burung di Indonesia secara sukarela mendatangi lokasi-lokasi yang menjadi tempat singgah burung pantai migrant. Mereka mencatat setiap jenis, jumlah, kondisi cuaca, lokasi, dan lain sebagainya di setiap pengamatan. Data-data ini kemudian dikompilasi secara nasional dan menjadi catatan penting tentang migrasi burung pantai migrant di Indonesia yang sangat berguna untuk menentukan strategi perlindungannya. Mekanisme yang sama pula diterapkan untuk monitoring raptor migrant.

Skema yang sedikit berbeda diterapkan oleh sebuah komunitas dunia maya yang menamakan dirinya FOBI atau Foto Biodiversitas Indonesia. Komunitas ini menggunakan foto sebagai produk utama dari sebuah single data yang dikumpulkan dari seluruh Indonesia. Anggota FOBI secara tidak langsung mengelompokkan dirinya menjadi kelompok yang kecil berdasarkan ketertarikan terhadap kelas-kelas tertentu, seperti aves, lepidoptera, herpetofauna, flora, ikan, dll. Meskipun ada juga yang serabutan memotret apa saja yang ditemui. Foto-foto amatir inipun dikirim dan dikelompokkan berdasarkan taksonominya di dalam server FOBI. Dari kumpulan foto ini tidak sedikit yang sangat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, seperti penemuan spesies endemik langka yang hampir punah, catatan persebaran spesies tertentu yang belum banyak diketahui atau bahkan bisa jadi ketika hutan Indonesia pada akhirnya harus musnah, mungkin hujan tropis yang tersisa ada di server FOBI.

Bisa dibayangkan, jika setiap warga Indonesia bisa mengambil peran sebagai citizen scientist, kendala kekurangan data akan kekayaan hayati kita mungkin bukan jadi masalah lagi. Dan untuk menjadi seorang citizen scientist pun tidak harus memiliki keahlian khusus layaknya peneliti professional atau dilengkapi dengan alat yang serba canggih dan lengkap atau didanai oleh lembaga dana berjumlah besar. Menjadi citizen scientist setidaknya harus melakukan lima hal mendasar:

a.    Mulai dari lingkungan terdekat
b.    Catat setiap hal meskipun sepele
c.    Jika memungkinkan diambil fotonya meskipun harus dengan kamera ponsel
d.    Banyak membaca
e.    Membiasakan menulis meskipun singkat dan sederhana
f.    Sharing dengan orang lain (terutama dengan para ahli) atau bergabung dalam komunitas yang memiliki tujuan sama.

Memulai dari lingkungan terdekat adalah awal yang baik. Bahkan di pekarangan rumah adalah rumah biodiversitas. Namun ketika pemilihan lokasi penelitian adalah kawasan konservasi, maka 20,9 juta hektar luas kawasan konservasi adalah halaman yang sungguh luas sekali. 527 unit kawasan konservasi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang terbagi menjadi tiga wilayah biogeografi adalah habitat alami bagi berbagai macam jenis flora dan fauna yang khas dan unik. Pohon, lumut, burung, reptile, amfibi, serangga, moluska, terumbu karang, ikan, komunitas lokal, kearifan lokal sumber inspirasi besar yang belum tergali.

Tuhan telah menganugerahi Indonesia dengan kekayaan alam yang tak terkira harganya. Betapa bodoh dan celakanya kita semua jika tidak menjaganya dan membiarkan anugrah itu hilang. Mari kita mengenali makhluk-makhluk indah itu dan menyelamatkannya demi masa depan yang lebih baik.

***

**Disampaikan pada acara Sosialisasi KSDH & E Bagi Perempuan Pengelola Lingkungan Sekitar Hutan Wilayah Jawa Bali. Bogor, 2 Juli 2010 — nDisiki Panitianya hehehe…

**Photo oleh Untung Sarmawi.

4 thoughts on “Menjadi Citizen Scientist di Kawasan Konservasi

  1. blog saya sudah masuk sitijen sains belum yah?
    **ada banyak cara untuk menjadi citizen scientist, yang penting data otentik, tidak mengada2 dan bisa menyumbang untuk dunia ilmu pengetahuan. nah, blognya sampeyan bisa tuh… 🙂

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s