Sumba Part 1: Mencicil Indonesia

“Siapa bulang Sumba panas? Jam 6 sore embun sudah berjatuhan.” kira-kira begitu status pertama yang aku posting di facebook begitu mendarat di Sumba. Dan itu adalah kesan pertama saya di salah satu pulau paling selatan Indonesia itu: dingin!

Sungguh tidak menyangka kalau kepulauan yang terkenal kering itu sedang menyambutku dengan udaranya yang cukup menusuk tulang. Bahkan pada pagi hari, semburat kabut tebal menyisip di antara bebukitan. Cuaca cerah, langit biru, hamparan padang rumput nan luas dibalut udara dingin rasa pegunungan. Di siang hari, berjemur di bawah terik masih ok ok saja, lumayan hangat. Bahkan yang tidak kalah menarik, di pulau ini air sangat berlimpah! Semua sungai terairi air. Itu sebabnya banyak kota atau tempat di Sumba yang namanya diawali oleh kata “Wai” yang berarti air.

Itu adalah kunjungan pertama saya di salah satu kepulauan Sunda Kecil, dan yang pertama di wilayah biogeografi itu.

Saat undangan sebagai salah satu pemateri pendampingan pelaksanaan Resort Based Management (RBM) di TN Manupeu Tanahdaru (TNMT) itu masuk di inbox, seketika kepala saya diisi oleh burung-burung endemik wilayah Sunda Kecil. Terima kasih Tuhan, mimpi saya untuk menyibak keindahan bumi Indonesia mulai tercicil. Dan Sumba menyambutku dengan sangat ramah.

Sumba bisa diakses melalui jalur darat-laut dan udara. Untuk jalur udara, bandara yang beroperasi berada di Tambolaka dan Waimanu. Saya sendiri masuk ke Sumba melalui bandara Tambolaka yang berada di Sumba Barat. Sebuah bandara kecil yang masih dikelola oleh Dinas Perhubungan dan check in terakhir saya minggu lalu bahkan saya tidak perlu dipindai untuk masuk ke ruang tunggu. Luar biasa!

Perjalanan dari bandara menuju ibukota kabupaten Waikabubak ditempuh sekitar 45 menit. Dijemput sama Hendro dan Syamsul, salah satu staff TNMT meluncurlah saya dengan rombongan dari Jakarta menggunakan Panther Touring. Di sepanjang perjalanan, salah satu pemandangan yang terus menarik perhatian saya adalah sebuah bangunan persegi mirip piramida terpotong dan di atasnya dibuat bentuk bidang. Hampir di setiap rumah ada bangunan “aneh” itu yang ternyata adalah kuburan keluarga. Yup, kuburan keluarga seukuran 1,5 x 2 meter.

Lalu bagaimana itu bisa digunakan untuk menampung jasad satu keluarga?

Masyarakat Sumba menganut kepercayaan dinamisme (atau animisme kali ya?). Jasad orang yang sudah mati tidak dikubur layaknya muslim atau kristen di Jawa tapi mereka didudukkan di dalam bagunan setengah priramida itu. Didudukkan dengan diberi pakaian lengkap layaknya orang hidup. Meskipun agama kristiani sudah masuk ke Sumba sejak lama, tapi budaya nenek moyang masih dipegang erat oleh masyarakat Sumba. Termasuk upacara-upacara keagamaan dan kemasyarakat yang saya hanya bisa geleng-geleng kepala kalau mendengar ceritanya dari kawan yang menjemput saya di bandara.

Untuk menikahi seorang gadis Sumba, pihak keluarga lelaki harus melunasi belis berupa hewan ternak sejumlah (rata-rata) 75 ekor yang terdiri dari kerbau, kuda dan babi. Bisa kebayang kalau saya harus menikah dengan gadis Sumba, SK PNS sudah pasti masuk sekolahan untuk membeli hewan-hewan ternak itu. Dan gilanya lagi, hewan sebanyak itu ujung-ujungnya ya habis untuk dimakan!

Lalu bagaimana kalau pihak lelaki tidak bisa melunasi belis yang diajukan keluarga perempuan? Bisa saja. Pernikahan tetap berlangsung, di gadis pun bisa dihamili dan beranak pinak, tapi dia tidak boleh dibawa keluar dari rumah sampai belis lunas.

Gadis manis nan pemalu ini setelah dewasa akan “dihargai” senilai 75 hewan ternak

Jika ada warga yang meninggal dunia para tetangga pun juga punya “kewajiban” untuk menyumbang sedikitnya seekor kerbau! Padahal kalau di Jawa, paling banter para tetangga hanya menyumbang beras, gula, atau jenis sembako lainnya. Tapi ini kerbau lek! Dan ujung-ujungnya juga habis dimakan! Mantab!

Saya tidak tahu, apakah itu yang menyebabkan perekonomian di pulau ini tidak berjalan dengan baik, karena perputaran uang sangat minim. Kerbau dipelihara sejak kecil ujung-ujungnya bukan untuk dijual tapi disumbang dan disembelih. Jadi susah untuk menyebutkan apakah masyarakat Sumba itu kaya atau miskin? Dibilang miskin padahal hewan ternak mereka bisa puluhan ekor, tapi kalau dibilang kaya la wong hewan segitu banyak tidak jadi uang? I don’t know.

Ibu tua dengan cucu dan sirih pinangnya

Bertemu dan bersapa dengan masyarakat Sumba memberi kesan yang sama sekali berbeda dengan yang saya anggap selama ini tentang masyarakat Indonesia timur yang berwatak keras.Ternyata mereka sangat ramah, terutama terhadap tamu. Ketika saya berjalan-jalan di pagi hari, sapaan “selamat pagi” hampir selalu saya dengar saat bertemu mereka. Mulai dari anak-anak kecil sampai orang tua. Dan dari situ satu lagi hal yang saya kenal dari mereka bahwa mulut mereka selalu berwarna merah darah. Yup, ternyata orang Sumba suka nyesep sirih pinang! Pria maupun wanita!

Sekali lagi terima kasih Tuhan, sudah Kau ijinkan saya mencicil Indonesia yang sangat kaya ini. Ada banyak cerita yang ingin saya bagi buat sodara-sodara sekalian, tapi mungkin itu dulu yang bisa saya sajikan sambil manasi jemari setelah hampir dua bulan Baluran and Me tidak di-update.

7 thoughts on “Sumba Part 1: Mencicil Indonesia

  1. Keren banget……!
    Kalo boleh tau, mas ini tinggal di banyuwangi, desa mana ya? ๐Ÿ™‚
    Kok bisa dapet pengalaman ke wilayah nun jauh disana…. hehe
    ** weheheh saya tinggal di desa Bekol, kec. banyuputih, kab. situbondo. bisa ngluyur jauh karena diperjalankan sama malaikat jibril hahaha…

    Like

  2. wah keren juga niy blog,
    btw, mas cm mw ngasih koreksi ttg bandara yg satunya lagi adalah Bandara Waingapu bukan Waimanu, tepatnya Bandara Umbu Mehang Kunda..
    **wo salah to? hahaha… siap ndan akan jadi catatan saya :D. thanks sudah mampir… ๐Ÿ™‚

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s