Gusti Allah Foundation: Sugih Tanpa Banda

Saya dilahirkan dalam sebuah keluarga yang -alhamdulilah- sederhana. Saat saya lahir, bapak saya bekerja sebagai petani yang menggarap lahan kakekย  dan ibu menjahit pesanan baju tetangga-tetangga di kampung. Sejak krismon 1997, bapak nyaris tidak bekerja karena profesi barunya sebagai kontraktor taman macet total, padahal itu adalah tahun pertama kakak saya kuliah. Mencoba usaha lain, mulai dari ternak cacing, kembali bertani, sampai makelaran apapun yang laku dijual semua tidak memberi hasil. Alhamdulilah ibu bisa memasak dan bikin kue yang sudah dimulai jualan roti ke toko-toko di kampung sebelum krismon dan katering kecil-kecilan, karena memang kecil sekali putaran uangnya. Tapi, alhamdulilah lagi, rejeki yang seadanya itu cukup untuk meluluskan 3 sarjana putra-putra beliau. Salah satunya saya.

Dalam kesederhanaan keluarga saya itu, siapa yang menyangka kalo sebenarnya kami adalah keluarga yang kaya raya? Serius! Karena hampir kami tidak pernah kebingungan dengan suatu apa jika membutuhkan sesuatu. Saat saya kecil dulu, masih kuat di ingatan saya, kalau butuh kendaraan untuk lihir mudik, ada vespa paklek yang selalu siap dipinjam. Bahkan sampai sekarang, motor yang parkir di dapur dan dipake bapak sehari-hari adalah hibah dari paklek. Saat butuh mobil, ada mobil pakde dan paklek yang standby 24 jam parkir di samping rumah, apalagi sejak mobil bapak remuk habis salto di jalur setan Batu-Ngantang. Butuh ke dokter saat sakit? Ada pakde yang berprofesi dokter yang selalu kasih pelayanan gratis, paling banter “dibayar” sama ibu dengan kue-kue bikinan beliau. Tapi tentu obatnya bayar di apotik.

Waktu pesta pernikahan kakak saya, bapak-ibu hanya menghabiskan uang 2 juta, karena hampir semua bahan untuk konsumsi makan dan kue datang dengan sendirinya, gula, minyak goreng, telor, sayur mayur, dll; bahkan terop, lampu-lampu penerangan, dan sound sistem sampai sekarang yang punya tidak mau dibayar!

Dulu waktu saya sama kakak masih kuliah, sekitar tahun 2002-an, pada suatu ketika ibu sama sekali tidak memegang dana untuk mengirim kami uang saku bulanan. Padahal hanya 400 ribu untuk kami berdua, kakak saya kuliah di IPB, dan saya di UGM. Padahal sudah tengah bulan, dan saya lupa kok waktu itu saya masih bisa makan ya? ๐Ÿ˜€ Pinjem sana sini gak mungkin karena hutang yang dulu belum dilunasi. Jual perhiasan juga gak ada. Maka ibu saya hanya bisa ambil air wudhu lalu sholat, diteruskan dengan wirid. Dan seperti sinetron di tivi, sejenak sehabis wiridan, datang seorang tamu, Pak Yan panggilannya, yang dengan tiba-tiba berkata kepada ibu saya “Mbak Sri (nama ibu saya) iki aku ono rejeki gawe sampeyan.” kata tamu itu sambil menyodori ibu saya sebuah amplop, lalu dia pergi lagi. Ketika dibuka, ternyata amplop itu berisi uang 400 ribu, pas! Subhanallah.

Di rumah saya, hampir setiap tamu makan berat sebelum pulang. Bahkan ada saudara atau tetangga yang datang ke rumah memang sengaja cari makan. Dulu sekitar tahun 1996-200an, santri-santri KH. Ihya Ulumudin pengasuh pondok pesantren Nurul Haromain, Pujon, bahkan sehari bisa sampai belasan orang makan kalau bertamu ke rumah. Dan alhamdulilah rumah saya tidak pernah kehabisan beras dan lauk pauk. Sepertinya semakin banyak orang makan di rumah, semakin bertambah saja itu beras dan lauk pauk di meja. Itu sebabnya yang mungkin membuat ibu selalu dipercaya sebagai juru masak kalau ada acara-acara di kampung atau masjid, karena berapapun biayanya selalu pas, bahkan lebih.

Kekayaan kami tidak cukup di situ. Beberapa bulan yang lalu, seorang teman bapak datang ke rumah. Dia bercerita bahwa tidak tahu kenapa tiba-tiba sehabis sholat, tanpa baca wirid atau doa, dia langsung meluncur ke rumah dan seketika itu ingin mengajak bapak-ibu berangkat umroh! Lha namanya umroh kan butuh biaya banyak, spontan ibu saya menjawab, “Budal umroh numpak opo? Duik seko ndi gawe umroh (berangkat naik apa? Uang dari mana buat umroh)?” Tapi singkat cerita, nyatanya bapak-ibu pun berangkat juga ke tanah suci awal Rajab kemarin.

Trus arto saking pundi, buk (Trus uang dari mana, bu)?” begitu tanya saya setelah beliau pulang dari tanah suci. Saya tidak mau mengacaukan niat baik ini dengan mengajukan pertanyaan itu sebelum mereka berangkat umroh. Dan sepertinya mereka juga tidak mau membuat anak-anaknya kepikiran dengan menceritakan rencana ini lebih awal, terutama kakak saya.

Ibu pun mengaku, “Ngutang le (Hutang, nak)!”

Ngutang? Pinten? Trus nyaure pripun? (Hutang? Berapa? Trus nglunasinya gimana?)” desak saya.

Karo bapakmu kiro-kiro 37 juta. Nyaure oleh nyicil, sakkarepe kapan lek nglunasi, gak katek bunga! (Sama bapakmu sekitar 37 juta. Bayarnya boleh nyicil, terserah mau kapanpun melunasinya, tidak pakai bunga!)” jawab beliau. Oalahhh… jawab saya dalam hati. Hari gini masih ada orang baik yang mau memberi pinjaman sebesar itu tanpa bunga, boleh dicicil, tanpa jatuh tempo lagi! Mengetahui itu, saya pun bersepakat dengan kakak untuk menanggung pinjaman itu. Gak enak juga sudah diberi pinjaman super lunak begitu kalau tidak segera dilunasi. Dan alhamdulilah sampai detik ini saya masih kuat beli rokok 2 bungkus sehari. ๐Ÿ˜€

Terkadang saya bertanya-tanya, apakah gerangan yang menyebabkan keluarga kami bisa dekat dengan kecukupan padahal jelas-jelas kami bukan orang kaya. Beberapa kali saya usul kepada ibu untuk mengembangkan usaha kateringnya, karena usaha ini sudah sangat lama dan cukup dikenal oleh masyarakat kota kami. Tapi beberapa kali pula ibu selalu menjawab dengan sederhana, “Halah, rejeki iku sing ngatur Gusti Allah, Pengeran iku sugihe gak ketulungan laopo kon bingung! (Sudahlah, rejeki itu sudah diatur sama Gusti Allah, Tuhan itu maha kaya ngapain kamu bingung!)”. Orang tua kami mengajarkan kepada anak-anaknya sebuah prinsip: saat kamu memberi hutang kepada orang yang membutuhkan, maka ikhlaskan seperti kamu baru saja kehilangan uang itu.

Menjadi kaya, ternyata tidak perlu ambisius mengejar karir apalagi sampai ngentit hak orang lain, opo maneh ngorupsi uang ratusan juta rakyat sebuah negeri. Jika dalam kearifan Jawa yang namanya ksatria itu adalah dia yang nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake. Menyerbu tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan. Maka dalam keluarga kami yang nama kesederhanaan adalah sugih tanpa banda, kaya tanpa kekayaan. Kalau katanya pasukan kere hore Ekspedisi Cangar FOBI yang berangkat dengan uang sangat pas-pasan, “Tidak perlu kuatir, insyaAllah cukup karena kita punya Gusti Allah Foundation!”

-Dan bersyukurlah kamu atas nikmat yang kami berikan, niscaya akan Aku tambah nikmat itu-

my mom and dad

To dearest my mom and dad, i’m proud to be your son. May God bless you both.

13 thoughts on “Gusti Allah Foundation: Sugih Tanpa Banda

  1. wow,..!! so inspiring,..!! keep sharing, masbro,.!! ๐Ÿ™‚
    **thanks jeng, sudah mampir. perasaan aku sharing terus deh hehehe…

    Like

  2. Menjadi bagian darinya adalah nikmat tak terhitung bagiku. Masih saja tertegun dan lagi-lagi terngungun berada amat dekat dengan keluarga yang super duper besar ini. Berani berkumpul lalu berbagi segala hal tanpa hitung. Kesederhanaan diantaranya tanpa syarat. Menjadikanku terus mengerti bagaimana kekuatan persaudaraan itu maha dahsyat. “Sugih-mlarat, seneng-susahe awakdhewe ki sing bakal nompo ra ono liyane kejobo mung keluarga”. Matur suksma sudah melibatkanku dalam lingkaran indah ini Ay. Takzim, sungguh…

    **and we do love you my dear, as one blood. nothing could be separated us!

    Like

  3. T_T aku terharu mas Nasis.. #lhoh?? sopo kon?? #Aku koncone Mora mas, sering nginep ndek omahe Mora dan njaluk mangan nang Ibu’e smpyan.. hehehe ๐Ÿ˜€

    Pantesan Mora satu-satunya orang yang dengan tabah bisa mengatasi ke-LIAR-an ku, HAHAHAHA~~ Mungkin karena Mora dibesarkan oleh keluarga yang hebat dan kaya hati. Sabar, tawakkal dan ikhlas adalah kunci untuk mencapai kekayaan itu ๐Ÿ˜€

    **welcome to our family :), please take all you can eat ๐Ÿ˜€

    Like

  4. kagum, terharu sampe gak iso ngomong opo-opo maneh..
    wah jadi pengen makan masakan ibu-nya mas swiss lagi. tahu tek ala ibu-nya mas swiss eennaaakk. dulu sama mas amri dkk pengen tambah lagi, tapi isin.. hehehe…
    semoga ibu+bapak mas swiss sehat dan bahagia selalu.

    **hehehe iku jenenge tahu lontong bro. amiin, matur suwun dungane bro.. ๐Ÿ™‚

    Like

  5. nyenengke mas moco iki, tenin.. di tengah orang-orang sing membanggakan harta, sampeyan bercerita ttg sugih tanpa banda, inspiratif mas ๐Ÿ™‚

    semoga mas swiss sekeluarga senantiasa diberi kesehatan dan kebahagiaan.
    **makasih jeng, dah mampir di Baluran and Me. lama gak kedengeran suaranya… ๐Ÿ™‚

    Like

  6. merinding stelah baca kang, sangat mengispirasi,, apalagi pas baca koment mbak ismi he ๐Ÿ˜€
    Smoga smua keluarga jenengan diparingi kesehatan selalu dan selalu diparingi rizki ingkang ktah lan barokah…
    **Amiin Allhumma amiin, suwun dungane bro, semono ugo sampeyan yo tansah diparingi gampang kabeh urusane lan dicepetno jalan keluar kabeh masalah2e… amiin…

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s