Sumba Part 4: Menemukan Sumba

Kunjungan kedua ke salah satu pulau paling selatan Indonesia ini tidak ada yang paling saya harapkan selain menemukan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang akan membuat saya benar-benar jatuh cinta dengan legenda, mitos dan kekononannya itu. Hamparan savananya sudah, burung paruh bekoknya sudah, udara dinginnya sudah, muka manusia-manusianya juga sudah! Apalagi kira-kira yang belum?

Kali ini saya ngajak satu personil tambahan, saya ndak ingin malam-malam saya dikuasai oleh udara dingin dan kesepian yang menusuk! Saya ucapkan selamat datang di Sumba buat Imam Taufiqurrahman. Dia saya mintai tolong untuk jadi aktor bayaran dalam pertunjukan pidato mengenai teknik sensus dan identifikasi burung di Taman Nasional Manupeu Tanahdaru. Dan sampeyan tahu apa yang tidak pernah berubah dimanapun dia berada? Apalagi kalau suka ngorok berlama-lama. Tapi saya tidak mau membahas itu, biarkan itu menjadi rahasia dan karunia terbesar dalam hidupnya. Tapi ada satu hal yang saya kagumi dari pria flamboyan bertubuh tipis ini.

Waktu itu kami janjian bertemu di Ngurah Rai, maksudnya sesuai dengan tiket yang sudah dibelikan oleh pihak TN Manupeu Tanahdaru. Jam 9 adalah time meeting kami, dan seperti yang sudah saya perkirakan, Imam pasti datang terlambat. Yes it’s true! Tapi no problemo karena waktu flight masih jam 10 an. Nah lama ditunggu-tunggu akhirnya datang dia dengan muka kebingungan dan -kayaknya- agak berkeringat.

Ngobrol kilat na na na tiba-tiba dia langsung memotong pembicaraan lalu berujar, “Kang, sepurane, njenengan duwe duit eketan (Kang, maaf, kamu punya uang limapuluhan ribu)?”

Saya jawab saja datar, “Ono, nggo opo (Ada, buat apa)?”

Lau dia menjawab datar juga, “Dinggo mbayar airport tax. Aku gak nyekel duit, hp-ku taknggo jaminan! (Buat mbayar airport tax. Aku gak pegang uang, hp-ku buat jaminan!)”

“Heh!” teriak saya spontan sambil nahan ketawa dalam hati… Kon gak popo ta? Awakmu ki iso anjok Sumba tapi duit gak nyekel? Luar biasa!

La hp-mu ki po payu didol 40 ewuan, kok iso-isone mbok nggo jaminan? Iku raimu sing melas opo petugas airport-e sing guoblok? (Apa hp-mu laku dijual 40 ribuan, kok bisa-bisanya kamu pake jaminan? Itu karena mukamu yang melas atau petugasnya yang guoblok?)” sambung saya sampai akhirnya lepas sudah tawa terbahak-bahak saya hahahaha…

Biaya airport tax di bandara Ngurah Rai adalah Rp. 40.000,- dan itu harus dibayar lunas jika sampeyan ingin masuk ruang tunggu dan naik pesawat. Dan sialnya, hp-nya Imam itu walaupun diberikan gratis, yang menerima masih mikir-mikir seribu jurus. But it works!

Singkat cerita terbanglah kami ke salah satu pulau paling selatan Indonesia itu.

***

Manupeu Tanahdaru saat pagi menjelang

Seperti kunjungan pertama, Sumba terasa dingin hari itu. Bahkan malam hari saya tega kemulan bareng Imam. Dan memang itu yang saya inginkan. Apalagi tidurnya di tempat terbuka, hanya bertutupkan terpal. Tapi saya akui, ini adalah pelatihan paling cool yang diadakan sebuah balai taman nasional yang pernah saya ikuti. Acara santai tapi serius, berlama-lama di lapangan dan dibayari!

Tiga hari dua malam di hutan Manupeu Tanahdaru baru terasa saya benar-benar di Sumba. Burung yang sangat ramai seantero hutan. Suara Cikukua yang nyaring nan merdu. Burung paruh bengkok yang ribut. Kabut pagi yang menyusup di sela-sela ketiak bukit. Dan hamparan savana yang menguning.

Menyisir jalan di tengah savana

Tapi, tetap saja, motret burung di kawasan seluas lebih dari 80 ribu hektar itu bukan perkara mudah. Sampeyan benar-benar harus sabar. Hutan tropis di Sumba sama sekali berbeda dengan anggapan banyak orang tentang tanah kering itu. Sumba memiliki hutan tropis yang sangat rapat, gelap dan pepohonan yang menjulang tinggi. ISO tinggi, banyak-banyak tahan nafas, leher pegel karena kepala ndangak terus adalah harga yang sesuai untuk burung-burungnya yang menawan hati. Jenis walik misalnya, burung ini gak pernah mau turun di strata tajuk rendah, maunya nongkrong di cabang-cabang yang tinggi, pun semua paruh bengkoknya. Kalaupun ada burung-burung kecil yang suka beraktifitas di strata rendah, tetap saja semak dan peredu di bawah sangat rapat yang membuat burung-burung itu selalu tertutupi dedaunannya.

Seriwang Asia di Sumba, seperti menemukan warung tempe penyet di Paris

Tapi setidaknya, ono rego ono rupo. Susah tapi banyak list baru yang masuk dalam daftar pribadi saya. Mulai dari burung endemik Sumba: Julang Sumba, Walik Rawamanu, Kakaktua Jambul-kuning (ras Sumba), dan Punai Sumba; khas Sunda Kecil: Kepudang Sungu Sumba, Cikukua Tanduk, Myzomela Kepala-merah, Betet-kelapa Paruh-besar, Nuri Pipi-merah, atau Kehicap Kacamata; sampai penghuni Jawa yang sangat jarang: Seriwang Asia! Bahkan ketemu Seriwang Asia serasa lebih berharga daripada ketemu burung-burung endemik Sumba. Mungkin rasanya seperti ketemu warung tempe penyet di Paris, spaghetti jadi terasa biasa. Eh, bukannya spaghetti itu makanan Italia ya?

Berkunjung ke Sumba selalu membuat adrenalin saya muncrat-muncrat! Sambil membayangkan savananya yang menguning, kabut paginya yang sunyi, belum lagi kopinya yang bikin lidah kemlecer itu. Bertemu dengan kawan-kawan TN Manupeu Tanahdaru yang luar biasa: Hastoto yang sok sibuk, Lutfi yang progresif, Bobby yang murtad dari herpetist menjadi birdwatcher atau Heri yang semangatnya mengagumkan. Dan tentunya pasangan setia saya Imam yang membuat perjalanan kali ini menjadi lebih berarti :D.
Someday, I’ll be there again.

I and Imam

____________________________ foto-foto lainnya ____________________________

6 thoughts on “Sumba Part 4: Menemukan Sumba

  1. hmmmm…. ternyata… ke Sumba cuma kamuflase…. intine mung pengen kemulan karo Imam thok !
    **makane ng Sumba lek, nk nang Jawa kan banyak mata, gak nyaman wkwkwk…

    Like

  2. Taman Nasional Manupeu-Tanah Daru mewakili hutan musim semi-peluruh dataran rendah yang tersisa di Sumba, terletak di wilayah Kabupaten Sumba Timur, Sumba Tengah, dan Sumba Barat. Sebagian besar kawasan hutan di taman nasional tersebut berupa tebing-tebing terjal pada ketinggian mulai dari permukaan laut sampai 600 meter di atas permukaan laut. Taman Nasional Manupeu Tanadaru memiliki keanekaragaman jenis bernilai tinggi, yaitu sekitar 118 jenis tumbuhan di antaranya suren (Toona sureni), taduk (Sterculia foetida), kesambi (Schleichera oleosa), pulai (Alstonia scholaris), asam (Tamarindus indica), kemiri (Aleurites moluccana), jambu hutan (Syzygium sp.), dan cemara gunung (Casuarina sp.). Satwa yang ada terdapat di kawasan taman nasional ini sebanyak 87 jenis burung, termasuk 7 jenis endemik pulau Sumba, yaitu kakatua jambul jingga (Cacatua sulphurea citrinocristata), julang sumba (Rhyticeros everetti), punai sumba (Treron teysmannii), sikatan sumba (Ficedula harterti), kepodang-sungu sumba (Coracina dohertyi), dan burung madu sumba (Nectarinia buettikoferi). Burung julang sumba dan kakatua jambul jingga merupakan burung yang paling langka di Pulau Sumba dan terancam punah. Di kawasan taman nasional ini juga terdapat 57 jenis kupu-kupu, termasuk tujuh jenis kupu-kupu endemik Pulau Sumba, yaitu Papilio neumoegenii, Ideopsis oberthurii, Delias fasciata, Junonia adulatrix, Athyma karita, Sumalia chilo, dan Elimnia amoena.Cara Mencapai Lokasi: Kupang-Waingapu dengan menggunakan pesawat terbang sekitar satu jam, kemudian dari Waingapu-Lewa-Waikabubak melalui jalan darat dengan kendaraan roda empat selama sekitar dua jam, yang dilanjutkan ke lokasi taman nasional (Desa Langgaliru, Desa Katiku Loku dan Desa Watumbelar).

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s