Supaya Kami Bisa Terus Bekerja (I): Emang Enak Jadi PEH?

Swiss dan 2 rekannya yang “gila” urus burung (Sutadi dan Achmad Toha) adalah figur-figur anomali di antara ratusan PEH di seluruh Indonesia.” — Pengantar Editor

Kalau Tidak Turun, Nanti Dimarahi Pak Kadus
Kalau Tidak Turun, Nanti Dimarahi Pak Kadus

Tulisan ini sebenarnya berjudul “Supaya Kami Bisa Terus Bekerja, Berkarya Untuk Hutan Lestari” yang dimuat di buku mengenai cerita-cerita dari lapangan staff PHKA di beberapa UPT di seluruh Indonesia: Kalau Tidak Turun, Nanti Dimarahi Pak Kadus: Geliat Kepemimpinan Kaum Muda di Kawasan Konservasi. Judul saya potong biar gak kepanjangan aja sih hehehe…

Ebook bisa diunduh di sini.

Tulisan ini akan saya potong menjadi beberapa bagian, karena saya tidak yakin sampeyan akan mengabiskan banyak waktu, kuota internet dan rokok untuk membaca tulisan ini sampai selesai. Tapi baiklah, mari kita mulai saja.

***

Supaya Kami Bisa Terus Bekerja, Berkarya Untuk Hutan Lestari

Tulisan ini direview serta diedit oleh semua anggota keluarga PEH Taman Nasional Baluran; rujukan utama dari tulisan Yusuf Sabarno berjudul “PEH TN Baluran: Berkarya Untuk Hutan Lestari”; disusun dari hasil pengalaman empat tahun penulis sebagai PEH Taman Nasional Baluran.

Adakah yang menyangkal bahwa PNS adalah pekerjaan yang bisa jadi sangat diidam-idamkan dan, di sisi lain, banyak juga yang menyumpahinya? Ya, diidam-idamkan karena siapa yang tidak mau kerja santai tapi tetap digaji, tidak dipecat, dapat pensiunan, bahkan tidak menutup peluang mendapat penghasilan sampingan baik dengan cara yang haram maupun halal? Yang jelas saya bukan orang yang menyangkal itu.

Banyak yang menyumpahi karena siapa manusia di negeri ini yang tak pernah berurusan dengan PNS dan dibuat geregeten olehnya? Minimal saat membuat atau memperpanjang KTP? Lalu siapa lagi yang menyangkal jika ada orang bilang kalau PNS itu tidak pernah serius dengan pekerjaannya? Dan sekali lagi saya bukan orang yang mengelak itu.

Ok, memang sudah ada banyak sekali perbaikan dalam tubuh lembaga pemerintah dalam meningkatkan pelayanan publik. Tapi stigma itu seperti buku sejarah yang dibaca berulang-ulang. Dan saya adalah pembaca setia buku itu. Sampai tibalah waktunya saya membuktikan ke-konon-an itu melalui cara apalagi kalau bukan dengan menjadi PNS?

Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) di Taman Nasional Baluran adalah dua hal yang sama sekali di luar teritori pengetahuan saya. Istilah “PEH” adalah kosakata yang benar-benar baru. Sampai akhirnya Apri Apriyanto, kakak kelas di bangku kuliah dan senior saya di Baluran, yang menjelaskan kepada saya apa itu PEH. Lalu Taman Nasional Baluran, meskipun pernah mendengarnya tapi tidak masuk dalam 10 besar tempat yang diidam-idamkan untuk saya kunjungi. Tentu pertama adalah Papua.

Tapi siapa yang menyangka kalau pada akhirnya dua nama asing itulah yang mengubah definisi saya tentang PNS. Meskipun tidak mengubah seluruhnya, tapi setidaknya kami, PEH Baluran, punya peluang untuk merevisi beberapa bab dalam buku sejarah tentang PNS.

Emang Enak Jadi PEH?

PEH yang dulu bernama Teknisi Kehutanan adalah “anak bungsu” keluarga besar Kementrian Kehutanan. Barangkali di saat yang sama mendapat predikat “anak tiri”. Saya artikan begini, paradigma pengelolaan taman nasional masih menganak-emaskan pendekatan pengamanan dan perlindungan untuk mempertahankan hutan sebagai satuan ekosistem tak terganggu. Terutama sejak pecahnya reformasi 1997 lalu, keamanan adalah harga mati yang harus dibayar mahal. Saat itu kepercayaan masyarakat kepada pemerintah seperti batu yang dilepas di ketinggian, terjun bebas, dibarengi dengan pudarnya kewibaan mereka sebagai pelayan publik. Maka tak heran jika masyarakat menempatkan hutan sebagai media pelampiasan “balas dendam”. Sialnya, bahkan setelah kondisi politik dan sosial ekonomi masyarakat paska krisis moneter membaik, logika polisi-maling ini masih dipertahankan. Akibatnya hutan sebagai sebuah ekosistem hayati kehilangan jati dirinya. Ia menjadi obyek, bukan subyek atas dirinya sendiri yang seharusnya difasilitasi oleh sistem managemen balai taman nasional. Ia seperti sosok makhluk yang sangat rapuh yang seakan-akan harus dipapah supaya bisa berjalan.

Di Taman Nasional Baluran, kondisi ini bertahan hingga akhir 2007. Satu dekade sejak gejolak reformasi itu, yang namanya “perlindungan” dan “pengamanan” adalah nama kramat yang ditaruh di atas cupu logika berpikir tentang pengelolaan hutan. Akibatnya, banyak tupoksi PEH yang tidak bisa dikerjakan dengan baik. Kalaupun ada kesempatan, itupun dihargai dengan “sangat murah”. Bagaimana tidak, jika kami memaknai penghargaan atas kerja PEH adalah sebuah angka kredit maka satu nilai kerja hanya seharga nol koma nol sekian-sekian. Tidak percaya? Baca sendiri Kitab Kuning PEH. Padahal jika saya adalah PEH Ahli golongan IIIA dengan modal angka kredit 100, untuk naik satu jenjang jabatan di atasnya, saya harus mengumpulkan angka kredit 150, yang artinya saya perlu 50 lagi angka kredit. Lalu saya berhitung, 50 ÷ 0,0sekian-sekian itu sama dengan 10x sekian-sekian jumlah kegiatan! Selanjutnya silakan hitung sendiri butuh berapa tahun angka 50 itu bisa tercapai?

Tuhan, betapa melelahkan dan berat jalan kami untuk menagih janji para “bapak pejabat” itu yang mengatakan kalau profesi PEH (fungsional) adalah jalan terbaik untuk berkarir di instansi Kementerian Kehutanan. Dan jalan berat itu harus kami lalui dengan cara menerobos hutan, menaiki gunung Baluran, tertusuk duri akasia, kepanasan sampai kulit menghitam, kehujanan dan kemalaman di hutan, ban motor bocor di hutan, dihajar nyamuk, dan yang paling menyakitkan adalah meninggalkan istri sendirian di rumah! Pada saat yang sama, kawan-kawan non fungsional yang kebanyakan bekerja di ruang ber-AC tak harus mengumpulkan angka kredit sebanyak itu untuk bisa naik pangkat. Mereka hanya butuh empat tahun saja!

Tidak, saudara-saudara, kami tidak sedang iri dengan sesama kawan. Meski tak memungkiri, kadang rasa jengkel merajai isi kepala. Kami juga tidak sedang mencari musuh bersama, apalagi mengingkari nikmat Tuhan. Betapapun Kami hanya mencoba menaruh kesadaran di atas ubun-ubun kepala bahwa mungkin ini metode yang dipilih Tuhan untuk menemukan jati diri kami sebagai PEH. Ini adalah tugas dan tugas adalah amanah, dan amanah wajib ditunaikan! Walaupun, sekali lagi, ada saja yang merasa dijadikan “kelinci percobaan”.

Suatu kali, seorang kawan Siswo Dwi Prayitno menjadi frustasi dengan proses kenaikan pangkatnya yang sangat lama. Proses yang “super sulit” itu seolah membelitnya. Akhirnya dia memilih pindah menjadi polhut pada 2003 lalu. Keputusan yang tak terduga!
Tujuh tahun dia habiskan waktunya sebagai PEH terampil golongan IIA. Alasannya sangat sederhana, “Menjadi polhut golongan II lebih enak mengurus DUPAK karena proses penilaiannya hanya di balai, sedangkan PEH, apapun golongannya, harus berurusan dengan tim penilai DUPAK di pusat yang sesungguhnya tidak pernah tahu apa yang terjadi di lapangan,” ujarnya. Saya bisa membayangkan, betapa menyakitkan ketika jerih payah pekerjaan itu tak mendapat perhatian yang semestinya.

Melihat kondisi psikologis seorang kawan seperjuangan yang terpukul bak dirundung awan gelap bulan Februari, membuat kawan-kawan yang lain menjadi serba sulit. Apa yang dapat kami lakukan untuk membantu menyelesaikan masalahnya? Sebagai sesama bawahan, hanya dengan terus memberi semangat dan dorongan supaya Siswo urung pindah menjadi polhut saja yang bisa kami lakukan.

Ada satu kalimat dari Pak Yusuf Sabarno – yang beberapa tahun kemudian menjadi koordinator PEH Baluran- kepada kawan-kawan , “Jangan kuatir teman-teman semua, saya janji suatu saat nanti kita akan mendapat sesuatu yang lebih baik!” Bergetar dada saya mendengar kalimat itu.

bersambung ke tulisan berikutnya..

4 thoughts on “Supaya Kami Bisa Terus Bekerja (I): Emang Enak Jadi PEH?

  1. moco bagian siji ki, wah tulisane ga’ swisswinarsis skali (brati uduk wonge sing nulis ki). pemilihan katane sangat berhati-hati dan santun skali. setelah moco part II yah…. ws mulai. ancene nek ws dadi karakter, arep di-act-ifisial se-costplay apapun tetep ketok wujude hahahhahaaa…. sangaratusseket lek + seket.
    Salute buat anda, eh bukan, tapi kalian dan mereka!!

    Like

  2. seberat apapun tugas dan tanggung jawab kita emang harus kita jalani karena itu adalah amanah seperti halnya PEH yg katanya menjadi “anak tiri”. persoalannya bukan antara PEH dan nonstruktural tetapi seberapa besar kinerja dan kreativitas kita. PEH Baluran termasuk plg kreatif…tinggal promosi dan publikasi lg yg gencar….dan jg lupa tulis dalam bentuk laporan biar cpt naik pangkat…. walau kreatif tp harus rajin buat DUPAK. terkadang senang kerja tapi lupa buat DUPAK….. he..he…he…

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s