Tahun 2000-2007 bisa dibilang sebagai masa-masa sulit PEH Baluran. Meskipun dalam struktur organisasi balai jelas-jelas ada Kelompok Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan yang dipimpin oleh seorang koordinator, namun itu hanya sekedar “gugur kewajiban”. Dukungan balai terhadap berjalannya tupoksi PEH sangat tidak signifikan. PEH dipandang sebagai personal-personal mana yang bisa “dipakai” dan mana yang tidak masalah “dibiarkan”.
Pola managemen yang berat sebelah tetap tidak menyurutkan perjuangan untuk meningkatkan eksistensi PEH. Tahun 2003 kawan-kawan rela kerja bakti membersihkan gudang guna memiliki sebuah base camp. Setelah gudang bersih dan mulai difungsikan sebagai ruang berkumpul dan berkoordinasi tiba-tiba balai mengeluarkan perintah untuk mengkosongkan base camp karena mau digunakan untuk keperluan lain yang “lebih penting”. Jadilah kami kelompok manusia nomad yang harus berpindah-pindah base camp bahkan sampai beberapa kali hingga tahun 2007.
Seperangkat komputer baru diperoleh tahun 2008, itupun setelah beberapa kali kawan-kawan meminta dengan sedikit paksaan. Sarana transportasi, berapapun jumlah rodanya, hanya sebuah motor tua RX-spesial yang mau parkir di depan base camp. Padahal kalau melihat kondisinya, saya pribadi lebih memilih naik becak. Dan baru 2011 mendapatkan lungsuran TS-100 untuk membantu aktifitas di lapangan di bawah tanggung jawab koordinator. Kalaupun ada roda empat untuk mengangkut kami bersebelas, yang paling bisa dipinjam adalah Daihatsu Hi-Line tua bak terbuka dengan chasis-nya yang sudah pada aus. Mau tidak aus bagaimana, saat mobil sedang berjalan tiba-tiba knalpot lepas. Bemper copot itu juga sudah biasa. Keluar masuk kokpit harus lompat lewat kaca jendela. Baut pengunci suspensi hilang. Dan yang paling parah baut gardan yang tinggal separuh. Itu semua masih belum termasuk kalau kita harus “rebutan” sama Pak Sukadi. Dia adalah staff bagian maintenance. Mobil dengan kondisi layak yang paling mungkin dipinjam hanya Isuzu D-Max. Itupun juga “kepunyaan” Divisi Pelayanan Pengunjung. Untung kepala divisi ini masih sesama PEH sehingga tidak terlalu banyak masalah yang berarti untuk meminjamnya. Mobil-mobil itu baru bisa kami akses setelah 2010.
Akhirnya, kendaraan yang paling pantas untuk digunakan tidak lain adalah motor pribadi. Bukannya kami manja ingin difasilitasi selengkap mungkin, tapi saya rasa ekspektasi besar balai terhadap peran dan kinerja PEH sudah seharusnya diimbangi pula dengan perhatian yang diberikan. Tentu itu bukan masalah bagi kami, pun tidak mau dipusingkan dengan hal-hal semacam itu. Karena kami harus sadar bahwa semua keterbatasan itu adalah bagian dari proses yang pasti dihadapi.
Perhatian dan fasilitas yang belum memadai tidak boleh menjadi alasan untuk berhenti bekerja. Keterbatasan adalah sahabat, dan kami harus berdamai dengannya. Minimnya dana untuk mendukung program-program pengelolaan kehati membuat kami harus merebut posisi sebagai second layer di bidang itu. Kegiatan-kegiatan kehati yang didanai DIPA dalam satu tahun mungkin hanya 2-3 judul, dan yang pasti sifatnya keproyekan: parsial dan tidak berkelanjutan. Sehingga program kerja tahunan PEH adalah salah satu solusi yang kami ambil sebagai second layer itu.
Mengingat program kerja terdiri dari banyak item kegiatan, di sisi lain dukungan dari balai sangat minim waktu itu, kawan-kawan bersepakat mengorbankan sebagian lunsum dari kegiatan yang diikuti yang kemudian dikelola dalam bentuk kas PEH. Bahkan, kawan non-fungsional Apri Aprianto, tidak jarang dia ikut meyumbang uang pribadinya untuk kas PEH. Tidak besar jumlahnya, setidaknya cukup untuk beli makan siang dan sebotol air mineral di setiap pelaksanaan program kerja PEH. Jika ada kelebihan dana, kami gunakan untuk mengadakan seminar kecil-kecilan di balai dalam rangka sosialisasi hasil kegiatan akhir tahun. Pun kalau masih ada sisa dana bolehlah dipakai untuk membuat seragam PEH, beli tas lapangan atau mengganti uang bensin. Bahkan uang kas PEH ini sesekali disulap menjadi koperasi simpan-pinjam bagi kawan-kawan yang membutuhkan dana cepat. Alhamdulilah proses tirakat ini mendapat respon positif saat kepemimpinan Pak Kuspriyadi dengan ada alokasi anggaran operasional fungsional PEH tahun 2009.
Saya pribadi senang bukan kepalang karena begitu mulai kerja di Baluran tahun 2008 sudah tersedia seperangkat kamera dengan lensa super tele. Alat yang menuntun saya dan beberapa kawan menemukan berlian yang lama terpendam: burung!
Adanya program tahunan yang kami inisiasi sejak 2005 sedikit banyak mampu menutup celah-celah data maupun aspek-aspek kehati yang tidak tersentuh oleh kegiatan keproyekan. Atau lebih tepatnya tidak cukup “seksi” untuk didanai. Paling tidak dalam satu bulan ada empat judul kegiatan yang dilakukan. Akan sangat banyak sekali jika saya sebutkan macam-macam kegiatan dan output data apa saja di tulisan ini. Tapi kalau boleh saya sebutkan satu-dua contoh data time-series yang diperoleh, misalnya dinamika perkembangan rumput di savanna Bekol. Atau siklus pembungaan beberapa jenis pohon di sepanjang jalan Batangan-Bekol. Dinamika pergerakan Banteng di sepanjang sungai Bajulmati dan kubangan-kubangan alami di sepanjang pantai timur Baluran. Efektifitas perlakuan pemberantasan akasia sejak tahun 2004. Update keanekaragaman burung beserta persebarannya dari tahun 2008-2011. Dan masih banyak lagi.
Beberapa data dasar (baseline data) juga tidak luput dari bidikan program kerja. Data dasar yang dimaksud adalah data yang belum pernah tercatat sejak Taman Nasional Baluran berdiri. Jenis-jenis mangrove di sepanjang garis pantai Baluran sepertinya sudah mencapai jumlah maksimal, ada 27 jenis yang tercatat. Keanekaragaman kupu-kupu meskipun masih memungkinkan bertambah, sejauh ini sudah mencapai 160 jenis. Ada juga jenis-jenis ikan karang yang sudah mencapai 110 jenis, dan masih bisa bertambah pula.
Data-data itu, time-series dan baseline data, bukan kemudian menjadi milik PEH semata. Mereka terbuka untuk diakses siapa saja. Terutama bagi kepentingan pengelolaan Taman Nasional Baluran melalui program kerja balai. Beberapa peneliti, mahasiswa praktek lapangan atau sekedar acara televisi alam bebas hampir dipastikan selalu berurusan dengan data-data itu. Capaian-capaian ini pada akhirnya memberi dampak positif yang signifikan terhadap posisi tawar PEH di lingkup balai. Sampai pada titik ini, menjadi second layer dalam pengelolaan kehati, bukan berarti tanpa strategi. Ada beberapa strategi yang harus kami lakukan.
Strategi pertama, mengubah paradigma kegiatan by project menjadi kegiatan rutin yang terprogram. Hal ini cukup sulit dan membutuhkan pendekatan personal yang cukup lama. Bagaimanapun juga kegiatan keproyekan selalu ada angka-angka dalam rupiah yang diterima, sedangkan kegiatan rutin PEH –separah-parahnya- berarti justru keluar uang pribadi.
Kedua, melakukan konsolidasi “bawah tanah” dan menggalang dukungan dengan dari berbagai komponen yang ada, terutama kepala balai beserta pejabat esselon di bawahnya. Komunikasi yang intensif dan selalu memberi progress report rencana dan capaian yang dihasilkan terus kami dorong. Sedangkan untuk menggalang dukungan dari “sesama bawahan” dilakukan melalui sosialisasi dan jejak pendapat. Tentu media sosialisasi dan jejak pendapat itu tidak harus dalam bentuk lembaran kuisioner atau poster-poster. Tidak jarang beberapa personil non-PEH kami libatkan di setiap kegiatan bulanan sehingga diharapkan mereka memiliki pengalaman dalam kegiatan-kegiatan PEH.
Ketiga, melakukan konsolidasi dan sosialisasi terbuka, tentunya atas persetujuan pimpinan. Strategi ini dilakukan dengan dua cara, mengadakan pertemuan tingkat balai untuk memaparkan program kerja PEH satu tahun ke dapan dan mengadakan Seminar Hasil Kegiatan-kegiatan PEH satu tahun yang lalu. Dari kedua metode sosialisasi tersebut diharapkan ada masukan, kritik dan saran yang kami gunakan sebagai bahan evaluasi untuk program-program berikutnya. Tapi sayang, padatnya kegiatan kawan-kawan, selama hampir tiga tahun terakhir kedua agenda ini tidak terlaksana. Semoga tahun ini bisa kita usahakan pelaksanaannya.
Keempat, menetralisir stigma-stigma negatif yang dihembuskan para free rider yang merasa tidak nyaman dengan kemajuan yang dicapai oleh PEH. Memang sepele, tapi sialnya, itu tidak bisa dihindari pasti terjadi di manapun. Free rider ini akan melakukan apa saja untuk menghambat laju PEH. Taktik paling jadul adalah mempengaruhi pimpinan dan menyebarkan isu-isu miring. Membesar-besarkan barang sepele atau meremeh-temehkan sesuatu yang positif. Kalau sudah berurusan dengan orang-orang macam ini pasti ada saja yang jelek, ada saja yang salah. Seiring dengan berjalannya waktu, dengan segala dinamika sinetronian-nya, dan tentunya campur tangan langsung Tuhan, hijab kebenaran dibuka sedikit demi sedikit. Akhirnya semua tahu mana yang layak diremeh-temehkan dan mana yang layak diapresiasi.
Bersambung ke bagian berikutnya
Ebook bisa diunduh di sini
free rider iku sopo mas??heee #kepo#
LikeLike