Sabar itu berarti tidak boleh mudah marah. Sabar itu bisa juga bermakna kuat memaksa diri untuk tidak menuruti apa saja yang menjadi keinginannya. Sabar itu pada wilayah Islam adalah berkomitmen untuk meninggalkan larangan Allah dan menjalankan semua perintah-Nya, kira-kira begitu ya? Pada level tertentu, sabar itu menyimpan makna rela meletakkan kebaikan orang banyak di atas egoisme pribadi. Pada ruang yang lebih privat, sabar adalah telaten mengasuh waktu dan energi berdamai dengan masalah-masalah untuk meraih mimpi.
Kita sering “disakiti” baik secara struktural maupun kultural dalam hidup. Pejabat-pejabat negara mendholimi kita dengan korupsi. Kapitalisme menyakiti kita dengan iklan. Industri menyakiti anak-anak kita dengan game online. Televisi menyakiti budaya kita dengan sinetron. Lalu kita menyakiti diri kita sendiri dengan menerima semua itu mentah-mentah tanpa ada keinginan apalagi gerak tangan untuk menghentikannya! Kita diam!
Atau siapa tahu, diam-diam kita juga ingin ikut-ikutan kebagian jatah korupsi. Kita asik-asik saja nongkrong di depan televisi melihat pendidikan kebencian dipapar di depan mata. Setiap hari yang kita untal bulat-bulat adalah berita keburukan bangsa sendiri. Lalu tanpa disadari kita terlibat dalam keburukan itu dengan rasan-rasan.
Sabar, pada wilayah sosial, adalah tahan menahan marah kepada orang lain yang menyakiti kita, lalu mengolah energi negatif itu menjadi pilihan sikap dewasa untuk dimanifestasikan menjadi kebaikan kepada orang yang menyakiti kita. Jadi sabar itu bukan hanya otoritas hati tanpa melibatkan akal sehat, kaki, tangan dan seluruh tubuh untuk ikut berpartisipasi.
Kepada koruptor kita mencintainya dengan menghukumnya. Karena kalau tidak dihukum maka kita sama saja dengan menjerumuskannya ke dalam lubang kehinaan yang makin dalam. Kita mencintai industri dengan selektif berbelanja, ndah mudah kepingin, tanpa harus memboikot produknya. Kita mencintai anak-anak kita dengan menghapus channel sampah tanpa harus menjual televisinya.
Bahkan ketika kedholiman itu berlangsung terus-menerus, sejak bangsa ini lahir sampai hari ini, dengan teknik dan metode yang begitu canggih di balik kedok negara, pemerintah, kemajuan investasi, globalisme atau apapun namanya. Maka setidak-tidaknya kita harus membentengi kehidupan dan keluarga kita dari virus firaunisme itu. Kita harus pintar supaya kita tidak terus dibodohi. Kita harus kaya supaya kita tidak terus dipermiskin. Kita harus ndableg supaya tidak dinakali.
Meskipun sah-sah saja kita, dan seandainya 250an juta rakyat Indonesia, mengambil satu batu lalu dilempar bersamaan ke gedung Senayan atau istana presiden. Yakin kelep.
Suatu hari Muhammad pulang dari kota Thaif dengan luka di sekujur tubuhnya. Masyarakat bani Tsaqif menolak mentah-mentah ajakan Kanjeng Nabi untuk masuk Islam, bahkan diberi bonus lemparan-lemparan batu. Melihat kekasihnya bersimbah darah, Jibril naik pitam. Jibril mengajak koleganya, malaikat penunggu bukit lalu berkata, “Perintahlah aku! Seandainya engkau menginginkan bukit Abu Qubais dan bukit Ahmar itu menghimpit mereka, niscaya akan aku lakukan sekarang juga!”
Lalu Muhammad menjawab, “Allahummahdii qawmii fainnahum laa ya’lamuun“.
Jadi, sabar itu adalah metode, jika dikelola dengan baik, lalu di-follow up-i dengan tindakan dan diluruskan dengan niat dan doa kebaikan akan mendudukkan kita sejelek-jeleknya satu strip lebih tinggi bahkan dari malaikat. Dan insyaAllah, Allah tidak akan tinggal diam melihat hambanya didholimi terus-terusan.
membuka mata batin,,,
hehhehe
LikeLike