Minggu lalu kelas sempoa kami sudah selesai placement test. Hah? Sekian lama jalan baru sekarang placement test? Ya namanya juga sekolah alternatif, semua serba spontanitas. Bikinnya saja juga spontan. Kurikulum gak ada, sehingga segala sesuatunya serba improvisasi. Namun ada yang sedikit “merusak acara” ketika ada 13 murid baru dari kampung tetangga datang tiba-tiba pas hari test. Ahh.. makin ramai saja. Ramainya sih ok, tapi gimana bisa belajar intensif kalo muridnya segini banyak? Mungkin sudah mencapai 60an lebih kali ya? Dan fasilitatornya cuma 3 orang! Ah, sudahlah, simpan dulu anak-anak itu. Sekarang test dulu.
Dan keluarlah pembagian kelas baru. Beberapa murid harus berpindah ke kelas yang sesuai dengan kemampuan rata-rata dengannya, beginner, intermediate atau sedikit expert. Ada yang “naik kelas” ada yang “turun kelas”. Istri saya yang kebagian kelas intermediate menerima 5 penghuni baru yang terpaksa harus “turun kelas” dari kelas saya. Dan saya pun sama, ada 5 penghuni baru yang “naik kelas”.
Yang sangat mengejutkan, dan menjadi perhatian saya adalah, satu murid baru itu bahkan baru kelas 1 SD! Namanya Kiki, dia anak sepasang petani sederhana dari kampung sebelah, dan dia harus bersaing dengan anak-anak dari kelas 4-8 (2 SMP)! Tapi setelah beberapa hari saya amati, Kiki memang luar biasa. Dia tidak kalah dengan anak yang lebih tua. Logika aritmatikanya sudah terbentuk bagus. Yang menjadi masalah satu-satunya adalah, dia masih kelas 1! Dia masih suka bermain. Bahkan manik sempoanya yang harusnya untuk berhitung pun jadi media dia bermain. Ya sudahlah, namanya juga anak kecil.
Pembagian kelas kami lakukan supaya dalam satu kelas tidak ada ketimpangan kemampuan yang terlalu jauh. Namun pada akhirnya tetap saja banyaknya murid menjadi masalah besar. Sempoa atau matematika pada prinsipnya adalah kemampuan yang hanya bisa dikuasai baik dengan cara banyak berlatih. Tidak banyak teori dalam menguasai sempoa, yang penting berlatih dan berlatih. Dan yang namanya berlatih maka harus intensif. Tidak cukup intensif, tapi harus dengan didampingi dengan tekun supaya tidak salah kaprah.
Tapi ini ada 60an anak dengan hanya ada 3 fasilitator! Bagaimana mungkin bisa mendampingi dengan baik? Kadang-kadang saya kasihan juga melihat istri saya yang perutnya sudah segede bass drum itu harus teriak-teriak menghadapi anak-anak kecil segitu banyaknya. Hasil placement test menunjukkan kalau kemampuan sempoa anak-anak masih belum memuaskan, bahkan mengherankan dan sedikit mengecewakan. Oh Tuhan…
Keterbatasan harus disertai kreatifitas! Jelas kami tidak mungkin meng-hire fasilitator tambahan. Semua yang ada di sini adalah gratis. Tidak ada yang mau kerja gratisan jaman sekarang. Malam demi malam pun saya habiskan dengan istri berdiskusi untuk menemukan cara alternatif mengatasi masalah ini.
Inisiatif! Improvisasi! What?
Dan akhirnya, bersepakatlah kita untuk mencoba cara ber-buddy. Ber-buddy adalah memasangkan 2 anak menjadi satu buddy. Masing-masing buddy harus bertanggung jawab satu sama lain terhadap kemampuan pasangannya. Jika yang satu sudah bisa menguasai teori tertentu, maka dia wajib mentransfer kemampuannya kepada pasangannya. Sebisa mungkin dalam satu buddy, bisa satu harus bisa keduanya. Mereka harus terbiasa berbagi dengan kawan-kawannya.
Bahkan saking pentingnya arti berbagi ini saya sampai memberi “ancaman” hiperbolik, “Dalam satu buddy, kalau saya satu dapat nilai 9 sedangkan temannya dapat nilai 4, maka yang dapat 9 harus siap-siap nilainya dipotong dibagi dengan yang dapat 4!”. Waaaaa…!! seru anak-anak. Dalam hati saya cuma tersenyum. Semoga saja, ini tidak dimaknai legalitas saling mencontek saat ujian :D.
Dalam menentukan pasangan buddy ini pun tidak asal-asalan. Kami harus tahu betul potensi kemampuan anak. Bukan hanya kemampuan artimatikanya, tapi juga psikologisnya, ketelatenannya dan team work-nya. Karena ada anak yang pandai tapi tidak telaten, ada juga yang piawai bekerja sama tapi kurang pandai, dan lain-lain.
Dalam beberapa kasus sebelumnya, beberapa anak yang sudah cukup mahir sempoa sering kita jadikan “asisten” untuk membantu teman-temannya yang masih belum dong dengan materinya. Bahkan 3 murid terbaik kelas saya, Shella, Dias dan Dila harus “turun gunung” membantu kelas intermediate dimana ada 13 murid baru tadi. Ahh… materi sudah jauh kok ya baru ikut sekarang to yo?
Mungkin saya akan posting tersendiri di balik cerita anak-anak yang harus menjadi fasilitator ad hoc karena kurangnya tenaga fasilitator. Tentang Putri, anaknya Pak Kampung yang luar biasa cerdas dan telaten. Tentang Olivia, anaknya satpam baluran yang agak galak. Kayla yang baru usia TK, anaknya bengkel motor yang mengagumkan. Damar, Azizah, Dias, Rike, Hendra atau lainnya. InsyaAllah.
Saat resource serba terbatas hanya dengan bekerja sama kita bisa terus bergerak. Bahkan sejak awal kami sudah bersepakatan untuk menamai ini sebagai kelompok belajar. Belajar bersama-sama dalam arti yang sebenarnya. Bukan les atau kursus. Dan sepertinya ide virtual kelompok belajar ini mulai menunjukkan wujudnya.
Belajar bersama, saling berbagi satu sama lain adalah pelajaran emosional yang harus terintegrasi di setiap mata ajar. Di semua bentuk sekolahan atau perguruan. Seharusnya! Bukan pelajaran terpisah dengan berbagai macam terori atau alat-alat mahal outdoor team building, dll.
Lambat laun saya mulai menyadari, ya ini yang memang harus dilakukan: bekerja sama! Dengan bekerja sama dan berbagi, semua bisa menjadi guru. Semua bisa menjadi pandai.

Pasti seru! Pernah juga mengalami kepusingan ini waktu ke panti asuhan, sayang kurangnya tenaga dan terbatasnya energi nggak bisa terus-terusan rutin ke sana jadi bubarlah membangun teamwork itu hehe. Nek butuh buku bacaan anak kabari yo. Kelana Kelapa insya Allah siap menyalurkan.
LikeLike