Adalah pada suatu ketika saya kebingungan luar biasa. Istri saya sms minta NIK yang ada di KTP buat ngurus balik nama akte tanah. Karena KTP selalu nylempit di dompet barulah saya menyadari kalau dompet saya tidak terdeteksi keberadaannya, alias hilang. Bagi rakyat sudra macam saya, kehilangan KTP berarti kehilangan separuh nyawa kewarganegaraan.
Ok, jadi langkah pertama yang harus saya lakukan adalah pergi ke Polsek untuk buat surat kehilangan. Di sana sudah ada pak polisi bertubuh kecil kerempeng yang cuma kumisnya saja yang kekar. Saya sampai berpikir, bahkan untuk jadi hansip saja dia harus nyuap. Saking tidak military posture-nya orang itu.
Singkat kata laporlah saya kalo saya baru kehilangan dompet berisi ini itu dan seterusnya. Dibuatkanlah dokumennya dengan cara me-replace file dari laporan kehilangan yang terakhir tersimpan di Office Word. Loh jadi Kepolisian Indonesia itu belum punya sistem database untuk laporan kehilangan to? Trus laporan itu hanya menguap saja seiring dengan selembar kertas yang dibawa oleh pelapor? Trus kalo tiba-tiba ada orang melaporkan telah menemukan dompet saya, gimana mereka bisa me-match-kan dengan laporan kehilangan saya? La wong datanya mereka gak punya?
Dan selesailah dokumen berkop “Kepolisian Negara Republik Indonesia Resort Banyuwangi Sektor Wongsorejo”.
“Sudah selesai, Mas. Semoga bisa digunakan untuk mengurus surat-surat yang hilang.” kata si bapak.
“Sudah ya, Pak? Kalo gitu terima kasih.” jawab saya sambil berdiri untuk segera pergi.
“Tunggu dulu, Mas!” sahut si bapak cepat. “Biaya administrasinya belum.” sambungnya.
“Loh, ada biaya administrasi juga to pak?” jawab saya agak bingung. Masih ada to “biaya administrasi” guman saya dalam hati.
“Maaf pak, la saya itu habis kehilangan dompet dan uang saya ada di situ semua e. Saya gak pegang uang pak” sambung saya agak memelas, pinginnya sih si bapak mau berbaik hati dengan membebaskan saya dari “biaya administrasi” itu. Tapi kenyataannya tidak.
“Seikhlasnya saja kok mas” kejar dia.
Ikhlas gundulmu iku! la yang di kantong saya cuma 2000 perak dan… ohya saya baru ingat kalo tadi saya baru ngutang temen. Tapi uang ini kan untuk jaga-jaga karena ATM saya juga hilang sehingga untuk beberapa hari ke depan saya gak bisa narik uang tunai.
“Maaf pak, uang saya cuma ini saja” kata saya sambil menyodorkan uang selembar 50.000. “Minta kembaliannya kalo ada karena saya bener-bener gak pegang uang.” sekali lagi saya mencoba memelas. Tapi mungkin karena wajah saya bukan potongan kere, si bapak tetap bersikukuh menerima uang itu, lalu ngasih kembalian ke saya.
Wuasu! Gak duwe isin, sik wani-wanine nyusuki! Jan preman kacang godok kie!
***
Besok harinya, saya meluncur ke kota Banyuwangi buat ngurus ATM yang hilang. Yang bikin saya heran, di dekat rumah saya juga ada kantor BRI tapi mereka gak bisa bikin ATM baru karena ATM lama bikinnya di Banyuwangi kota. Nah! trus dipake buat apa itu sistem database kalian kalau bikin ATM masih manual gitu?
Ah sudahlah, gak usah diperpanjang, yang penting saya harus segera pegang ATM karena setelah semalam “dirampok” polisi, uang di kantong sudah makin menipis.
Singkat kata sampai di BRI kota, saya sampaikan maksud kedatangan saya kepada mbaknya yang manis berkacamata itu. Bla… bla… bla…
Surat kehilangan dari polisi dan buku rekening berwarna biru itupun saya berikan ke si manis.
“Jadi Pak Swiss (asem, cewek manis manggil pemuda ganteng macam saya dengan sebutan “Pak”!) mau bikin ATM baru?” tanya dia.
“Iya Mbak, karena yang lama hilang, itu surat kehilangan dari kepolisian. ATM lama sudah saya blokir lewat BRI Bajulmati (BRI yang dekat rumah saya itu)”. jawab saya seraya menjelaskan biar gak ditanya-tanya lagi.
“Bisa pinjam KTP, Pak Swiss?”
Duengggg… Tor… tor… tor…
“Lah! Kan KTP saya juga hilang, Mbak? Silahkan lihat di daftar barang di surat kehilangan dari kepolisian itu mbak” respon saya agak geli.
“Oh iya.” Sahut si mbak-nya… “Trus gimana ya? Kalo gak ada KTP gak bisa buat, Pak.” sambung dia.
“Trus gimana mbak? Sedangkan alamat KTP itu masih Malang, kalau saya harus bikin KTP sementara, mau gak mau saya harus ke Malang dulu, Mbak. Itu jaraknya 300 km lo mbak dari sini”. Sahut saya.
“Itu dulu rekening saya di BRI juga bukan saya yang bikin, tapi kolektif untuk transfer gaji kantor. Dan saya tidak pernah dimintai KTP saat awal pembuatannya. Kok sekarang pake KTP segala?” Melihat gelagat tidak baik saya harus mengeluarkan jurus sebaik mungkin.
“Oh ini untuk transfer gaji ya?” tanya dia. “Pak Swiss ini kerja dimana?”
“Di Taman Nasional Baluran mbak”
“O Baluran to? Iya.. iya.. Jadi ini untuk transfer gaji”
Sampai titik ini saya seperti melihat semak-semak belukar yang rapat mulai terbuka sedikit demi sedikit. Sepertinya gak ada masalah deh, karena memang dulu bikin rekening sama ATM justru tawaran dan promosi dari BRI, bukan saya yang minta.
Tahun 2010 saat Birding Baluran pertama diadakan, sponsor utama kami waktu itu adalah BRI. Dan sebagai imbalannya mereka meminta semua pegawai Baluran membuka rekening di BRI sebagai akun transfer gaji. Dan dulu saya adalah salah satu orang yang tidak setuju dengan perjanjian ini. Tapi mau gimana lagi, telek sudah jadi tanah.
“Sebentar Pak, saya tanyakan dulu ke pimpinan”. kata dia seraya berdiri lalu pergi masuk ke sebuah ruangan tertutup. Tak lama lagi dia kembali dan duduk dengan manis di depan saya.
“Begini Pak Swiss”. buka dia lagi. “Karena tidak ada KTP maka kami minta pernyataan dari bendahara kantor Bapak bahwa rekening ini adalah benar adanya Bapak yang yang pegang”
What…
The…
Fuck?!
“Loh kok gitu mbak? Kenapa harus ada surat pernyataan lagi? Tolong dicek lagi di database anda! Inikan akun yang tiap bulan anda isi sendiri dengan nominal-nominal gaji saya? Kenapa harus pake surat penyataan lagi?” sahut saya agak emosi. Ada masalah apa sih dengan sistem database di semua kantor di negeri ini?
Sudah 3 tahun usia akun saya di BRI. Dan selama itu pula uang negara ngendon di brankas mereka. Mereka juga yang memprosesnya. Pastinya gak ada masalah kan? La kok masih diminta surat penyataan keaslian?
“Maaf Pak, saya hanya menjalankan perintah pimpinan”. kata mbaknya mencoba menenangkan saya, atau mungkin membela diri.
Ya ya saya tahu itu. Masalahnya pimpinan sampeyan itu kok yo kebangeten watak birokratnya to yooo? La wong kalian sendiri yang minta kita buka akun BRI, gak pake KTP. Balance juga kalian sendiri yang memasukkan. Kalian pasti juga dapat untung besar karena gaji lebih dari 2,5 juta dari 80an orang tiap bulan ditransfer dari Bendahara Negara ke lemari besi kalian. La kok sekarang customer kalian yang memberi untung besar ini kena musibah masih saja dipersulit.
Sampeyan itu swasta tapi berwatak birokrat!
“Maaf Pak, saya hanya menjalankan perintah kepala.”
Iyo iyo wes ngerti…
***
Sodara-sodara sekalian, semoga cerita ini tidak menimpa Anda sekalian. Atau mungkin sudah ada yang mengalami, bahkan banyak sekali. Dan mungkin lebih parah. Kita tidak sedang ingin membenci pion-pion yang duduk di garis depan itu, karena pada wilayah yang berbeda mereka bisa menjadi korban juga.
Indonesia adalah negeri luar biasa. Oleh Allah diisi dengan kekayaan yang luar biasa. Ditaruh juga manusia-manusia yang luar biasa. Luar biasa gak duwe isin. Luar biasa gak duwe utek. Luar biasa gak duwe tanggung jawab. Pun di sisi lain memiliki keluarbiasaan hidup susah diperdaya penguasa-penguasanya. Resisten dikerjai oleh sistem piramida penindasannya.
Penguasa dalam hirarki piramida penindasan tidak harus presiden, menteri, gubernur atau camat. Penguasa bisa bermacam-macam muka dan formulasinya. Dari kasus polisi tadi, dia adalah penguasa, karena dia yang punya kop surat dan stempel. Begitu juga mbak BRI tadi. Namun pada wilayah yang berbeda, mereka akan hilang kekuasaannya dan jadilah mereka rakyat biasa. Begitu juga dengan kita.
Maksud saya, alat kekuasaan tidak akan selamanya melekat di baju atau emblem yang kita pakai. Ada saatnya Allah akan mencabut semua itu, dan mengembalikan kita semua pada rumus yang sangat sederhana: Barang siapa yang mempermudah urusan saudaranya, maka Allah akan mempermudah urusannya di dunia dan akhirat. Dan barang siapa yang mempersulit urusan saudaranya, sesungguhnya Allah itu juga bisa menjadi The Great Greatest Godfather!
hehee .. kuwi lagi bagian kecil masdab ..
aku sadurunge mangkat nang cino di-ngel-ngel karo kantor pusat,
nganti aku iso seminggu ping 2 nang jakarta, entek akeh maneh,
kuwi lagi sing sak-atap,
durung liyane ..
yo sabar tho lek 😀
LikeLike
modaro, rasakno, koen, wkwkwkwkw
aku biyen mek kenek rokok sak bungkus, kudune sampeyan ngetunge tegesan ae, wkwkwkw
LikeLike
paling ekspresi mas swiss kurang memelas. hihihihi
nek aku pas kehilangan sak sembarange, bolak balik kantor polisi sampe 3x buat minta berlembar-lembar surat kemalingan, mereka gak minta imbalan padahal mas-mas yang barengan ngurus kena todong sak ikhlase 10rb buat 1 lembar kertas.
LikeLike
kesuwen bernostalgia karo kewan neng alas, skaline metu alas melu metu pisan sungute….. wkwkkwkwkkk (iki piye to? kene musibah tambah di guyokno wong akeh. tp birokrasi ncen lucune polpolan).
KTP-ne ente ws e-KTP gung? nek ws e-KTP, kui sekuel ceritone luwih menarik. kita tunggu cerita kecanggihan sistem database-nya Mr. Gamawan Fauzi. jangan2 sek kudu cap jari karo scan retina ulang.
LikeLike
And apart from frustration; its country killer; all progress delayed effort delayed, motivation killed through helplessness at sistem.
LikeLike
Waduh nangsib…
LikeLike
Aku uwesss tauuuu pisannn~~ huekekekekeke
LikeLike
Reblogged this on Dance With Live and commented:
Ada yang pernah di persulit dengan Birokrasi di negara ini? seperti cerita ini.
SAYA PERNAHH~!!!!
LikeLike
Eiiihhh,ngurus balik nama akta tanah? hohoho…
LikeLike