Jadi sodara-sodara sekalian, alasan utama saya budhal ke Ambon bukan hanya sekedar berbagi pengalaman tentang fotografi satwa liar dengan kawan-kawan BKSDA Maluku. Ada alasan lain tentunya, apalagi kalau bukan untuk nambah wilayah teritori blusukan cari foto burung. Kebetulan wilayah yang diblusuki kali ini adalah pulau-pulau kecil di sekitar Maluku Tengah. Ditambah lagi, panitia mengabulkan permintaan saya ngajak “asisten”. Aseekk. Dan saya sudah punya top list asisten yang akan saya ajak, sapa lagi kalo bukan tukang kopi Nurdin.
Alasan saya ngajak Nurdin adalah karena saya salut dengan semangatnya untuk belajar dan terus menemukan hal-hal luar biasa dalam hidupnya. Meskipun tidak akan pernah ada yang lebih luar biasa melebihi Tika belahan jiwanya :D. Dan yang lebih hebat lagi, kadang semangatnya Nurdin ini bisa melompati logikanya. Jadi, semangatnya sudah di atas ubun-ubun, tapi logikanya masih di pantat hahaha… Mboh kuwi kok iso ngono aku yo nggumun 😛
Ada 2 pulau yang kami kunjungi, Pulau Pombo dan Pulau Kasa.
Pulau Pombo, seluas 2 ha, diberi nama begitu karena di pulau inilah -dulu- tempat berkumpul Pergam Laut (Ducula bicolor). Pombo adalah nama lokal di Maluku untuk jenis-jenis Columbidae. Ok, Pergam Laut di Jawa juga ada, tapi kan keren kalo dapatnya di Maluku? Seperti nemu tempe di pasar tradisional Perancis. Rasanya pasti sama saja dengan tempe di pasar Dinoyo Malang, tapi kan keren kalo belinya di Perancis? Bayarnya pake Euro! Wooo yo sangar…
Sedangkan Pulau Kasa memiliki luas kurang lebih 52 ha. Pulau dengan pemandangan mirip-mirip di Karibia ini benar-benar pulau surga bagi penikmat petualangan alam liar. Jika sampeyan ingin berlama-lama di pulau ini, sampeyan cukup bawa beras, air tawar, korek api dan pancing. Saya jamin sampeyan tidak akan kelaparan. Karena mancing di pulau ini jauh lebih mudah daripada menjaring ikan di Jawa! Mancing sejam saja sudah dapat ikan satu ember. Kedua, minimal sampeyan harus bawa masker+snorkle untuk menyaksikan sendiri keindahan bawah lautnya. Ketiga, tentu saja kamera full charged karena gak ada setrum. Jangan lupa sama lensanya :P. Di Pulau Kasa kami niatkan khusus cari Gosong Kelam (Megapodius freycinet), karena katanya -dan memang iya- populasi gosong di pulau ini masih bagus. Lebih ndobos lagi baca saja di Ambon Part 2 aja yes?
Baik, mari kembali ke burung…
Burung yang menarik perhatian saya di kedua pulau ini tidak lain adalah Kehicap Pulau (Monarcha cinerascens). Dan memang seperti namanya, sepertinya burung berwarna merah bata-perak ini hanya ditemukan di pulau-pulau kecil di sekitar Wallacea dan Papua. Betul gak ya? Sori saya gak pegang buku apa-apa hehe :D. Soalnya saya gak nemu sebijipun saat blusukan di Pulau Seram (pulau terbesar di Maluku Tengah), di Pulau Ambon pun juga tidak kelihatan bulu hidungnya.

Awalnya agak kesusahan mencari burung ini, karena sukanya beraktifitas di rerimbunan semak. Semakin dicari kok seperti semakin menghilang. Beruntung, burung dari keluarga Monarchidae memiliki watak yang disukai pengamat dan pemotret burung: semakin sampeyan diam, semakin dia mendekat seperti sedang menyelidik.
Sampai pada akhirnya, seekor ibu sedang asik ngetem di atas sarangnya. Wow! “Sepertinya ini akan jadi foto bersarang pertama Kehicap Pulau!” Kata Nurdin. Tapi sayang, waktu yang sempit tidak mengijinkan saya dan Nurdin berlama-lama mengeksplorasi perilaku bersarang, komposisi material sarang, diameter, nomor bangunan, jumlah kamar, dan lain-lain.

Begitu meninggalkan pulau, saya sama Nurdin nggerundel, “Kok ya tadi gak sekalian dieksplorasi ya? Pekok!”
Di P. Kasa, perburuan Gosong Kelam benar-benar menyita waktu dan kesabaran. Bayangkan burung seukuran ayam betina berwarna gelap aktif di lantai hutan yang rapat dan gelap juga! Belum lagi kelakuannya yang luar biasa jijik melihat manusia. Jangankan lihat, dengar suara langkah kaki saja cukup membuat dia mak berrrr… lari tunggang langgang. Bahkan dibelain membuat tenda kamuflase darurat, dihajar hujan, ngempes pipit, tidak meluluhkan hati di gosong untuk nongol di depan kamera!
Ujung-ujungnya nggletek, si gosong ketangkap kamera bahkan setelah kita ketiduran (atau lebih tepatnya niat tidur) di hutan. Perjalanan panjang Baluran-Surabaya-Ambon ditambah jet lag membuat mata benar-benar gak bisa lagi menanggung ngantuk. Belum lagi Nurdin yang kena tipu sopir taksi Bungurasih. Mungkin justru itu yang membuat si gosong mau berbaik hati. Meskipun gak banyak frame yang tereksekusi, minimal sudah gugur syarat.

Beberapa jenis bonus yang menjadi pelengkap penasaran saya di kedua pulau ini: Merpati-hutan Metalik (C. v. halmaheira), Burung-madu Sriganti (C. j. clementiae), Pergam Laut (D. b. melanura), Perling Ungu (A. m. metallica), Kipasan Kebun (R.l. melaleuca), Kepudang-sungu Pucat (C. c. ceramensis), Sikatan Burik (M. griseisticta), Cikrak Kutub (Phylloscopus borealis).
Tapi ada satu lagi bonus yang menjadi pembeda kapan logika harus ditaruh di atas kepala atau di pantatnya Nurdin tadi. Dimulai dari drama kejar-kejaran sama gosong, tiba-tiba si cantik ini parkir begitu saja di depan mata saya. Sempat tertegun beberapa detik lalu sadar ada kamera di tangan. Sambil tangan gemeteran saking nervous-nya, tombol shutter saya penceti beberapa kali. Posisi kamera plus lensa gaban pun harus beberapa kali dibetulkan karena kedua tangan kaki tidak bisa diam akibat ndredeg! Deg-degan!
Mengambil beberapa frame lalu saya memberanikan diri mendekat. Si burung masih parkir dengan santainya. Lalu saya mendekat lagi, dia masih tenang-tenang saja. Bahkan saya sempatkan ambil beberapa video berdurasi beberapa menit. Sadar kalau burung ini ternyata memiliki toleransi lebih dibandingkan gosong saya segera memanggil Nurdin yang kebetukan posisi ndeproknya agak jauh dari saya.
Begitu Nurdin sudah di sebelah saya, clingukan mencari-cari dimana burung yang dimaksud, sambil mendelik saya semprot dia “Lihat arah lensa saya!” Begitu mengetahui posisi parkir si burung, bukannya langsung nyandak kamera, tapi malah istighfar dia!
“Astaghfirullah… masyaAllah, Kang… masyaAllah…!”
Dan terjadilah apa yang saya kuatirkan, begitu Nurdin sadar dengan kameranya dan mulai mengarahkannya ke si burung… pleperrr… terbang! Hilang dan tak kembali. Padahal belum satupun frame yang diambil sama Nurdin. Spontan langsung nggletak dia, gulung-gulung sambil ngusuk-ngusuk jidat! Modaro koen!
“Burung apa itu tadi, Kang?” tanya dia.
“Ceyx mboh, gak tahu namanya!” jawab saya serasa saya tunjukkan saja layar LCD 7D ke mukanya. Dan… istighfar lagi dia sambil gulung-gulung -lagi-!

Jadi, sodara-sodara, kalau sampeyan ada rejeki dan bisa hunting di kepulauan Maluku, saran saya cuma satu: jangan mudah nggumunan!
cocok tenan sameyan karo mas nurdin,
dirabi pisan po?
**loh, kita kan sudah tunangan?
LikeLike
din din,. sing penting wes tekan ambon, yo din,.
LikeLike
hhe..sambil menghibur diri kang asman,,
matornuon banget kang swiss.. ambon memang manis 🙂
ojo cemburu lo gung..
LikeLike