Menakar Islam dan Indonesia, Bisakah?

Kejadian ini begitu kebetulan dan beruntun. Berawal dari salah satu blog yang saya follow, dia me-reblog sebuah tulisan menarik berjudul How Islamic are Islamic Country? Si penulis yang sudah malang-malang megung dari benua Asia sampai Eropa bercerita tentang pengalaman sosialnya hidup di negara yang berlabel muslim dan saat dia menetap di negara barat yang notabene muslim adalah agama minoritas. Tulisan yang sangat mengalir ini seakan-akan memaksa saya untuk mengambil selangkah ke belakang lalu bertanya, “Apa itu Islam? Apa itu negara Islam? Politik Islam? Ekonomi Islam” dan lain sebagainya.

How Islamic are Islamic Country? adalah judul penelitian Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari The George Washington University. Pertanyaan dasar penelitian itu adalah seberapa jauh ajaran Islam dipahami dan memengaruhi perilaku masyarakat Muslim dalam kehidupan bernegara dan sosial. Dan hasilnya, 5 negara yang paling Islami justru bukan negara Arab apalagi Indonesia, tapi Selandia Baru, Luxemburg, Irlandia, Eslandia dan Finlandia! Indonesia sendiri sebagai negara dengan pemeluk Islam terbesar di dunia berada pada tangga ke 140. Luar biasahh…

Mungkin satu-satunya kritik saya tentang judul tulisan itu adalah there’s no Islamic Country! Tidak ada itu negara Islam sejak kekhalifatan Ottoman runtuh tahun 20an. Kalau negara yang mengadopsi hukum Islam sebagai hukum negara masih banyak di Asia Tengah sanah. Atau negara mayoritas Islam lebih banyak lagi. Tapi Negara Islam? No one!

Belum selesai meresapi tulisan itu, tiba-tiba di grup WA ada seorang teman yang memposting link video “Ustad Hariri mengamuk lalu menyuruh orang cium kakinya dan menginjak kepalanya”! Mak cederrrrr!!!

Karena saya tidak punya tivi, saya memang agak ketinggalan berita. Yangyut google-lah satu-satunya andalan saya. Mulailah saya mencari-cari kebenaran berita itu, lalu nyangkut di Youtube, dan naudzubillaah… tidak ada setitik-pun logika, bahkan yang paling primordial sekalipun dalam kepala saya bagaimana mungkin seorang bersorban dan bergamis serba putih memarah-marahi seorang jamaah, menyuruhnya mencium kaki lalu menginjak kepalanya! Di hadapan orang banyak! Di atas panggung pula!

Kebodohan paling primitif yang pernah saya temui sepanjang hidup saya.

Belum selesai njancuk-njancuk-kan si ustad, istri minta tolong dibelikan telur di toko Bu Haji di pasar dekat rumah. Disebut Bu Haji karena pemiliknya memang seorang suami-istri yang sudah naik haji. Di komunitas muslim di Indonesia, sampeyan tahu sendiri, gelar “Haji” di depan nama setiap orang yang pulang dari ibadah haji hukumnya wajib. Karena kalau gak, sampeyan bisa dosa! 😛

Sampai di toko Bu Haji, terlihat yang sedang standby adalah Pak Haji. Dia sedang asik ngobrol dengan salah seorang -mungkin- pembeli, meskipun tidak terlihat sedang melakukan transaksi jual-beli. Hanya ngobrol.

Karena sepertinya tidak ada transaksi jual-beli, tanpa berlama-lama, langsung saya bilang ke Pak Haji, “Beli telur 1,5 kilo pak”. Bukannya segera malayani pembeli yang ganteng ini, beliaunya malah meneruskan ngobrol sama seseorang tadi. Membuang pandangan dari saya dan terus mengobrol kayak saya ini tidak ada di situ. Oh.. ok, mungkin itu adalah pembicaraan serius yang menyangkut uang milyaran rupiah. Karena pembeli adalah raja, you have your rule, I make my own rule. Langsung balik kanan, tanpa pamitan dan saya tinggalkan kedua orang itu. Pergi sambil meneruskan njancuk-njancuk-kan ustad Hariri yang belum selesai tadi. Sumpah, ora katene tuku nang tokomu meneh!

***

Saya belum pernah ke Selandia Baru, Irlandia, Arab Saudi, Kuwait atau negara manapun selain tanah kelahiran saya, Indonesia. Saya tidak paham, seperti apa kehidupan umat Islam di luar sana. Pun, mungkin saya juga tidak perlu peduli dengan hasil penelitian Rehman dan Askari tadi. Karena ilmu pengetahuan modern, memaksa kita berpikir dan bertindak dalam kerangka empirisme yang kaku dan linier. Sains modern memakruhkan bahkan mengharamkan kita berpikir neko-neko seakan-akan ingin menebak apa yang tidak tertangkap oleh kelima panca indera. Sains modern menjebak dirinya sendiri berputar-putar di atas kulit tapi tidak pernah tahu apa yang terjadi di dalam dagingnya.

Saya sedang tidak ingin menilai aqidah dan keimanan orang lain. Biarkan itu menjadi wilayah kemesraan yang sangat privat antara Allah dan hambanya. Tapi melihat bagaimana Islam diamalkan di Indonesia adalah sesuatu yang unik dan mengagumkan.

Kekaguman pertama sudah pasti saat melihat kelakuan kedua tokoh yang saya ceritakan sebelumnya. Ustad Hariri dan Pak Haji adalah miniatur paling sukses bagaimana kekuasaan adalah alat paling canggih untuk menindas. Ustad dan juragan bergelar haji, jika saya definisikan penguasa terhadap jamaah pengajian dan pembeli adalah jastifikasi sosial terhadap status penguasa. Ustad hariri menjadi komando terhadap jamaah pengajiannya, dan pak Haji dengan seisi tokonya menguasai sistem jual-beli di pasar desa saya.

Jika ditarik ke lingkaran yang lebih luas, bisa jadi kelakuan kedua orang tadi adalah ekses dari kejumudan sistem politik dan sosial yang lebih besar di kampungnya, kabupatennya, provinsi dan mentok di negaranya. Kedzaliman penguasa-penguasa negeri ini telah menciptakan watak-watak penguasa pendendam yang ditabrakkan dalam ranah horizontal yang lebih kecil: tetangga, jamaah, dan sebagainya. Dan kita membabi buta melegalkan status kepenguasaannya dengan memanggil Hariri dengan panggilan ustad, dan penjual nyebahi itu dengan gelar haji hanya karena dia sudah pernah ke tanah suci. Kebodohan kita yang mendukung rezim Suharto, lalu beramai-ramai mencoblos PDIP sebelum tergagap-gagap dengan pesona SBY disadari atau tidak telah menciptakan lingkaran kekuasaan pendendam dalam diri kita. Dan ustad Hariri dan Pak Haji adalah contoh sangat mikro kebodohan yang kita ulangi dalam wilayah sosial yang lebih kecil.

Rakyat Indonesia adalah manusia-manusia paling kuat atas penindasan yang dilakukan oleh para pemegang kekuasaan di atas kepalanya. Mulai dari zaman penjajahan Belanda sampai penjajahan pemodal internasional. Tidak ada yang lebih dizalimi selain rakyat Indonesia atas apa yang dilakukan oleh penguasanya yang berkerja sangat sistematis dengan korporasi-korparasi multinasional. Hak politiknya dikebiri, hak ekonominya di-apusi, hak kebudayaannya dikontaminasi dan Al-Qur’annya dikorupsi. Dan itulah kekaguman saya yang kedua.

Sebenarnya Allah sudah gatal tangannya ingin menghujamkan azab melihat kemunkaran dan maksiat disebar di mana-mana, di seluruh dunia. Tapi, seperti Kanjeng Nabi pernah ngendika dalam hadist qudsi, Allah menarik kembali azabnya saat melihat orang-orang tua yang bangun malam lalu bertahajjud dan memohon ampunan, doa anak-anak yatim dan kaum dhuafa yang mengambil air wudhu dan meramaikan masjid. Allah bahkan turun dari arsy-Nya untuk mendengarkan langsung doa mereka!

Dan kalau tanah Indonesia menampung umat Islam terbesar sedunia, siapakah penyelamat kehancuran dunia dari azab Allah kalau bukan orang Indonesia? Saat senjata-senjata pemusnah masal diciptkan, ekonomi lintah dikembangbiakkan dan dipuja-puja, kesakitan sosial dipelihara dan rasa malu sukses dilokalisir di masjid-masjid atau dalam jamaah tahlil ibu-ibu. Saat itulah orang-orang tua, anak yatim, orang miskin dan ratusan juta kaum tertindas di seluruh kolong Indonesia bersujud dan berdoa kepada Allah di tengah keheningan malam. Dan tertudan lagi-lah azab Allah karena mereka.

Jadi kalau ketaqwaan harus memberi warna indah pada pergulatan sosial, politik dan ekonomi seharusnya Indonesia berhak mengangkat trofi juara. Namun sayang komunanalisme Islam di Indonesia bergerak dengan sangat halus pada gelombang super ultra-sonic. Doa-doa peredam azab langit disebar ke penjuru semesta saat semua panca indera dan segala radar sains modern terlelap. Dan memang Indonesia tidak akan pernah bisa diukur menggunakan logika matematis-empirisme. Mulai dari kejayaan Majapahit yang menguasai Asia Tenggara hanya dalam satu umur rezim Kertanegara. Atau Brodin, pejuang 10 November, yang membuat tentara Belanda kocar-kacir karena peluru, misil-misil meriam dan tank Belanda busung begitu menyentuh dadanya. Sampai ketakutan Amerika menyerang Indonesia karena tentara-tentara Indonesia memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh pasukan militer paling elit manapun di dunia: menaklukkan makhluk halus!

Indonesia adalah Indonesia. Dia tidak bisa ditakar, dikategorisasi bahkan mungkin didefinisikan.

***

Sehari menjelang lebaran 3 tahun yang lalu, ibu menyuruh saya dan kakak mengantarkan makanan ke tetangga-tetangga di kampung, saudara atau sahabat. Mungkin hanya di Indonesia budaya saling mengirim makanan menjelang hari raya dilakukan tiap tahun dan hampir semua umat Islam.

Kakak saya adalah seorang muslim yang sangat taat. Selama hidup tidak pernah saya menemui kakak saya ini melakukan perbuatan sia-sia, bodoh apalagi melanggar aturan-aturan agamanya. Dia sangat menjaga jarak dengan wanita yang bukan muhrimnya, tidak pernah pakai celana pendek, tiap hari selalu menyempatkan mengaji barang 1 atau 2 juz, berjenggot, menggunakan gamis, dan lain sebagainya. “Ikhwan sejati” kalau kata kawan-kawan di kampus dulu.

Di masa kecil, saat anak-anak seumuran dia asik bermain layangan, nekeran atau umbul, kakak saya justru menghabiskan waktunya di masjid atau di rumah guru ngaji kami. Kalaupun dia harus bermain, itu karena ayah saya menyuruh dia menjaga saya yang justru hobinya bermain. Swiss kecil adalah seorang anak yang sangat sembrono, bedigasan dan suka melakukan hal-hal yang tidak masuk akal.

Nah, ada salah satu makanan lebaran yang harus kami antar ke rumah Mak Tante, begitu kami sekeluarga memanggil wanita tua keturunan Cina itu. Beliau adalah seorang penganut Katolik yang sangat taat. Dan beliau adalah orang yang mengajari ibu saya membuat kue dan memasak saat kami masih kecil. Ketika Indonesia terserang krismon tahun 1997, sejak saat itu Ayah saya menganggur dan ibu lah yang menopang biaya sekolah dan kuliah anak-anaknya. Bermodal jualan kue dan menerima pesanan masakan.

Begitu masuk rumah Mak Tante, berbagai ornamen kristiani tersebar di penjuru ruangan. Mulai dari salib, patung Bunda Maria, Injil, trus semacam ranting yang dianyam membentuk roda, saya gak tahu namanya. Sudah bisa ditebak.

Tapi yang membuat saya merinding dan bergetar adalah ketika kami menemui Mak Tante di ruang tengah, saat itu juga kakak saya langsung merebut tangan Mak Tante dan diciumlah tangan wanita Cina Katolik yang bukan muhrimnya itu, lalu menempelkan pipi kirinya dengan pipi kanan Mak Tante disusul menempelkan pipi kanannya dengan pipi kiri Beliau. Seperti dua saudara yang lama tidak bertemu. Duduk di samping beliau sambil terus memegang tangan Mak Tante dan mengobrol santai.

Saya masih terdiam dan tidak percaya…

Pulang dari rumah Mak Tante, saya langsung nelonyor bertanya kepada kakak, kenapa dia mencium tangan dan pipi wanita yang jelas-jelas bukan muhrim dan tidak seagama? Cina pula!

Mergane Mak Tante sing ngajari ibu nggawe jajan karo masak. Mergo ibu iso masak karo nggawe jajan, aku karo awakmu iso kuliah sampe dadi sarjana (Karena Mak Tante-lah yang mengajari ibu memasak dan membuat kue. Dan karena ibu bisa memasak dan membuat kue, aku dan kamu bisa kuliah sampai jadi sarjana)!”

Sejak saat itu, semua anak-anaknya ibu selalu mencium tangan Mak Tante kalau bertamu ke rumahnya.

***

thanks to Embun dan Kaca, dan Jihandavincka karena telah menginspirasi tulisan ini 😀

2 thoughts on “Menakar Islam dan Indonesia, Bisakah?

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s