Tiba-tiba Whatsup saya berbunyi. Ada pesan dari seorang kawan.
“Rabu menyalurkan hak pilih?” begitu tulisan pesan di layar hape.
Saya jawab singkat saja, “Ora hahahaha”
“Wah payah ki, suara anda menentukan masa depan bangsa.. eh masa depan caleg.” begitu lanjut pesan itu.
Dalam hitungan detik, percakapan di WA itu saya transformasikan sehingga saya sudah berhadapan dengan guru spiritual saya. Jangan ditanya gimana caranya saya bisa langsung berpindah tempat dalam hitungan detik dan langsung berhadapan dengan guru saya itu. Karena, kalau saya ceritakan pasti sampeyan akan menuduh saya tukang ngapusi, atau sebaik-baiknya: tukang klenik. Atau memang begitu adanya…
“La laopo kon gak gelem nyoblos?” guru saya bertanya singkat.
“Saya ndak tega, Gus.” jawab saya singkat juga.
“Maksudmu?”
“Saya ndak sampai hati membayangkan nasib bangsa ini 5 tahun ke depan, nasib rakyatnya, tetangga-tetangga saya, dan anak istri saya.”
“Opo anggite lek kon gak nyoblos trus nasibe negaramu iso luweh apik?”
“La nggeh niku masalahe, Gus. Kalo saya ndak nyoblos calon terbaik yang bisa saya pilih sama saja saya ndak urun kebaikan untuk Indonesia, tapi kalau saya ikut nyoblos masalahnya saya ndak tahu benar siapa orang terbaik yang berhak atas suara saya.”
“Maksudmu, caleg-caleg iku gak ono sing apik. Masio ta, mek siji?”
“Ndak gitu-gitu juga, Gus. Saya yakin pasti ada satu-dua caleg yang masih baik. Tapi, kalau saya milih caleg, sedangkan saya ndak tahu siapa dia, rumahnya dimana, istrinya berapa, sama tetangganya baik apa ndak, sama ibunya durhaka apa ndak, suka megat bojo apa ndak, kan sama saja saya nguntal kacang tapi saya ndak tahu kacang ini akan jadi protein apa racun buat tubuh saya? Kalau golongan demit, setan, tetekan, gendruwo saya malah ada yang kenal satu dua, Gus. Lha orang-orang ini? Jauh lebih hantu dari golongan makhluk-makhluk halus itu e, Gus!”
“Dadi intine kon iku lecek, gak gelem resiko timbangane nyoblos malah dadi mudhorot mending meneng gak lapo-lapo. Masio sopo ngerti coblosanmu iku malah dadi pahala mergo sing kon pilih tibake wong apik, jujur, tlaten karo tonggo, amanah karo rakyat. Lak ngono se?”
“Ya, sejelek-jeleknya begitu, Gus. Tapi ya ndak gitu-gitu amat, Gus. Maksud saya begini lo… Orang disuruh milih, berarti kan harus dibuka peluang untuk memilih sebebas-bebasnya, tanpa ada intimidasi, doktrinasi atau sekedar penyetiran opini sehingga masyarakat bisa memilih dengan obyektif.”
“Lo, lak uwes se? La iku spanduk-spanduk pinggir embong sakmono akehe opo duduk?”
“Woo… la njenengan salah, Gus. Sepuntene sing katah nggeh, saya ndak bermaksud menyalahkan njenengan. Tapi iklan-iklan itulah yang saya sebut intimidasi, Gus. Yang bilang si Anu itu jujur, bersih dan amanah itu siapa? Kan dia sendiri to? Bukan orang-orang yang kenal, apalagi yang gak kenal sama si Anu? Sehingga kita dipaksa percaya sama si Anu bahwa si Anu itu jujur, bersih dan amanah. Lak namanya kurang ajar itu? Ngaku-ngaku di depan orang banyak? Iya kalo begitu adanya? Kalau ngapusi? Dosa mugholadoh namanya itu!”
“Maeng kon sambat mergo gak kenal karo caleg, saiki caleg-caleg gelem ngenalno awake dewe sik kon salahno maneh. Pancen lambemu njijris! Rumangsamu gak murah ngono a gawe spanduk sakmono akehe. Saiki karepmu opo? Yokopo carane cek e wong sak Malang iki kenal karo calege?”
“Ya mencontoh caranya para Kyai! Wali, dan yang paling harus dirujuk ya Kanjeng Nabi!”
“Yokopo iku?”
“Bagaimana caranya dulu para Anshor dan Mujahidin bisa begitu mencintai Kanjeng Nabi? Kan karena setiap hari rumah mereka didatangi beliau. Ditanyakan gimana kabarnya. Beliau rela berbagi makanan meskipun sudah puasa 2 hari sebelumnya. Gak jauh beda sama njenengan, Gus. Meskipun njenengan guru saya, tapi njenengan masih bersedia mampir ke rumah saya. Njenengan tanyai gimana pekerjaan saya, keluarga saya, istri saya, njenengan juga sering urun rembug atas solusi masalah-masalah saya dan banyak lagi. Sampeyan juga sering nambani saudara-saudara saya yang sakit. Tanpa harus ngiklan, saya pasti kenal njenengan to? Meskipun itu hanya sekedar ruang tamu karena itulah wilayah sosial yang harus njenengan bagi dengan murid dan tetangga-tetangga njenengan.”
“La lek saiki, dapil e caleg iku sak Malang Raya, ono pirang juta ndas wong Malang? Kudu ditekani siji-siji wong-wong iku, ditakoni jenenge, kabar rejekine, sekolahe anake… siji-siji… lak iso pengkor tungkake caleg lek carane ngono? Sopo sing gelem nyaleg, dul?”
“Justru itu, Gus. Memang harus gitu! Kalau memang sudah siap menjadi wakil rakyat, buktikan kalau mereka adalah wakilnya rakyat. Mengetahui setiap permasalahan manusia yang akan menjadi tanggung jawabnya di parlemen dunia dan sidang parlemen akhirat kelak. Meskipun pada akhirnya dia harus menghabiskan bertahun-tahun lamanya sebelum nyalon? Gak cuman dua sampe tiga bulan menjelang pemilu saja sambil masang baliho di mana-mana! Bukankah itu wakil karbitan, Gus?”
“Njenengan pasti paham, butuh berapa tahun dengan segala pengorbanannya sehingga umat Islam di Indonesia begitu mencintai seorang Hasyim Ashari? Dan apakah beliau pernah ngaku-ngaku sebagai seorang kyai atau ulama? Lak mboten to? Karena gelar kyai itu ndak pernah lahir atas pengakuan si kyai itu sendiri. Tapi mekanisme sosial lah yang dengan sendirinya menggelari seseorang dengan apa yang menjadi tabiat, perilaku dan sumbangsih orang itu untuk umat manusia. Abu Bakar itu tidak pernah nyalon menjadi kholifah setelah wafatnya Kanjeng Nabi. Tapi umat Islam lah yang mencalonkan, memilih dan membaiat beliau. Karena mereka tahu kapasitas seorang Abu Bakar.”
“La lek ngono carane, rek, yo gak ono sing gelem nyaleg, opo meneh lungguh neng DPR. Dadi presiden opo maneh? Iku malah dapil e sak Indonesia, bro.”
“La ya itu yang bikin saya ndak mau nyubles lembar suara, Gus. Karena memang pada kenyatannya gak pernah ada wakil rakyat di jakarta sana. Mereka sejatinya adalah hantu. Bahkan lebih hantu dari hantu itu sendiri, karena rakyat Indonesia memilih dengan gelap mata.”
“Yo ojok ngono… wong-wong iku yo duwe hak pilih. Nglamak kon lek nyalahno wong-wong. Jarene era demokrasi, lah gak popo se milih? Masio ta, gak kenal sing dipilih?”
“Woo nyuwun sewu, Gus. Sepuntene sing katah. Saya ndak setuju kalau dibilang era demokrasi trus bebas memilih. La wong sekarang kenyataannya jadi golput ada yang mengharamkan? Kan sama saja merampok hak demokrasi warga negara?”
“Loh, sopo sing ngaramno?”
“Siapa lagi kalau bukan dapurane MUI?”
“MUI?”
“La nggeh to? Kalau saya luweh, Gus. Ndak peduli saya sama fatwanya MUI. Ndak masuk surga juga gak pateken saya. Karena saya memang gak ada trah ulama. La njenengan kan masih ada aroma ulama, kalo sampai golput dosanya lebih berat itu, Gus!”
“Cangkemu! Wes mbaliko ae nang asal muasalmu! Nggarai budrek ae diskusi karo awakmu!”
CLINGGG…
Dalam hitungan sepersekian detik, saya sudah kembali ke rumah dengan hape di tangan. Di layar WA sudah ada pesan balasan dari kawan saya itu, “Nek ora nyoblos yo mending nyelem wae piye”
Hahahaha… ayoohhhh… Dan hasilnyaaa… dapat satu jenis Nudibranch baru Glossodoris hikuerensis!

Kata Panji : demokrasi itu bukan hanya bebas memilih tapi bagaimana membedakam fakta dg opini. Ono salah satu laman daring yang menyediakan info rekam jejak caleg. Tapi iki jarene Panji Pragiwaksono lho, hehehe.. lek aq yo isih tetep milih golput pemilu iki. Hehe #bar nonton stand up comedi nang KompasTV
LikeLike