Dulu saya sangat mencintai kota kecil ini. Dataran tinggi di lembah yang diapit oleh gunung Arjuno-Welirang, Kawi, dan Peg. Tengger. Kota ini berdiri di atas hamparan tanah surga. Pertanian dan hutan hidup rukun. Masyarakat agraris yang ramah. Mata air berhamburan di mana-mana.
Dulu ketika saya masih kecil, pemuda kampung saya bisa bermain bola basket di tengah jalan protokol. Saking sepinya kota ini. Dari teras rumah saya memandang ke semua penjuru mata angin hamparan gunung-gunung yang mensuplai air, oksigen dan mineral tanah yang membuat tanah kami sebegitu suburnya. Karena tidak banyak bangunan di kampung saya.
Setiap pagi saya suka menggores embun yang menempel di kaca jendela, menggambar apa adanya sebelum dia menguap seiring siang mendekat. Salah satu hobi saya adalah mlinteng burung. Saking banyaknya burung di kota kami, kemanapun ketapel saya mengarah, pasti kena!
Saat liburan sekolah, saya selalu menghabiskan waktu di rumah budhe di desa mBinangun. Setiap hari saya dan Hadi, teman sebelah rumah, mandi di kolam sumber alami, kali lanang namanya. Dan namanya juga mandi, semua orang yang nyebur di sana pasti telanjang. Di bawah kali lanang ada tempat mandi buat para perempuan. Ah… itu adalah surga di kampung ini, karena saya bisa nginceng perempuan-perempuan berpunggung mulus itu yang hanya berbalut kain jarik, bahkan ada yang hanya mengenakan BH, atau tidak sama sekali. Sama halnya dengan di pemandian air panas, Cangar, siapapun yang mandi di sana pasti telanjang. Karena saking sepinya.
Hiburan pemuda kota kami tidak lebih dari kumpul-kumpul di pinggir jalan sambil membuat perapian untuk mengusir dingin. Atau kalau ada yang punya hajat, ikut guyub meramaikan malam dengan main judi. Pagi hari, sebelum berangkat ke ladang, segelas kopi dan rokok dinikmati di depan pawon. Menikmati hangatnya perapian di udara pagi yang sangat dingin. Atau nongkrong di depan rumah sambil berjemur di bawah cahaya matahari yang hangat.
Tidak ada pusat keramaian yang bisa jadi jujugan. Alun-alun kota sudah dikuasai demit, gendruwo, dan mungkin ndas glundung. Satu-satunya sumber keramaian adalah kalau ada rombongan pasar malam, orang kaya yang nanggap layar tancap, atau karnaval 17an. Dan kami cukup bahagia dengan itu semua.
Percayalah sodara-sodara, ini adalah kota dimana sampeyan tidak memerlukan banyak acara dan ugo rampi untuk hidup bahagia sejahtera. mBatu adalah kecamatan kecil di ketiak gunung-gunung yang tidak menarik satupun investor bikin industri, pusat hiburan atau apalah. Hotel di mBatu itu rata-rata sudah berumur hampir sama dengan umur ibu saya.
Waktu pun berlalu. Tahun 2001, kecamatan mBatu resmi menjadi kota otonom yang terpisah dari Kabupaten Malang. Dia berhak mengadakan pemilihan daerah sendiri. Dan 16 tahun berlalu, mBatu divermak habis-habisan. Kebijakan Walikota Edy Rumpoko menggenjot sektor wisata mengubah desa besar ini menjadi kota dengan angka pembangunan tertinggi di Indonesia.
Kabar gembiranya, di mBatu tidak ada alasan orang jadi pengangguran. Semua orang sibuk dalam sorak gembira. Tidak ada yang tidak laku dijual di sini. Mau jualan properti, kafe kopi, sampai cilok semuanya laku. Jika sampeyan mau naik gunung Panderman, sampeyan akan melewati desa Seruk. Dulu ejekan paling memalukan bagi anak-anak di mBatu adalah kalau sampai dipanggil “arek seruk.” Karena itu adalah desa paling nyepit di mBatu, dimana jumlah demitnya jauh melebihi manusia. Sekarang di setiap akhir pekan, Seruk ramai dikunjungi orang yang ingin melihat mBatu dari ketinggian, atau naik ke Panderman.
Sampeyan mungkin tidak akan menemukan rumah jelek di mBatu. Serius! Karena setiap rumah yang tidak layak pandang, akan divermak baik menggunakan dana iuran tetangga-tetangga maupun dana dari pemerintah kota. Budaya bedah rumah sudah lama menjadi kebiasaan orang mBatu. Anak-anak kecil di sini senangnya kalau disuruh sholat Jumat di masjid komplek kantor walikota, karena setiap habis jumatan, mereka disangoni sama pak Edy. Makan-makan gratis dari pemerintah kota untuk siapa saja yang datang ke balaikota gak terhitung sudah berapa kali dihelat. Bahkan, komplek pemerintahan walikota tidak memiliki pagar. Taman kantor didesain sedemikian rupa sehingga tidak ada sekat pemisah antara rakyat dan pemerintah. Saya kira belum ada konsep kantor pemerintahan macam punya ini di seluruh Indonesia.
Coba tanya sama tiga serangkai mahasiswa miskin, Budek, Kukuh, Nurdin, yang sudah hampir setahun tinggal di mBatu. Betapa orang mBatu sangat suka slametan. Mereka tidak pernah bingung mau makan apa. Kalau pas tidak ada yang slametan, meja makan tetangga dengan senang hati menerima wajah kaliren mereka.
Dan masih banyak lagi kabar gembira yang sepertinya terlalu lebay kalau saya ceritakan di sini.
Sekarang kabar buruknya. Yang pasti saya sudah tidak bisa mandi di kali lanang atau di Cangar sambil telanjang. Tidak ada lagi anak-anak muda main bola basket di tengah jalan raya. Tidak ada embun pagi di kaca jendela. Bahkan rumah yang memiliki pawon bisa dihitung dengan jari.
Pawon adalah pusat kebudayaan masyarakat pegunungan. Di situlah semua masalah kehidupan dibicarakan. Besok mau tanam apa, pupuknya pake apa, jual sapi di mana, dapat mantu anak mana, kepala desanya milih siapa, semuanya dibahas di depan tungku api yang kami sebut pawon. Kalau sampeyan bertamu ke desa-desa di Tengger, sampeyan tidak akan dipersilahkan di ruang tamu, tapi langsung disuruh njujug pawon.
Dan sekarang, pusat kebudayaan orang mBatu sudah bergeser ke alun-alun, Jatim Park, Museum Angkut, BNS, dan seterusnya. Tanah-tanah pertanian banyak yang dijual, alasannya sudah tidak sanggup menggarap. Anak-anak generasi saya sudah malas bekerja kasar di ladang. Atau, malu kalau di KTP ditulis pekerjaan: petani. Tanah-tanah itupun dibeli dan dikuasai oleh orang luar kota. Mereka menyulapnya menjadi hotel, kafe, atau pusat hiburan di atas tanah pertanian yang terjual. Dan sekarang pemilik lama tanah itu bingung mau kerja apa, uang jualan tanah sudah habis buat beli mobil dan umroh. Mereka pun harus rela menjadi tukang sapu, tukang parkir, atau office boy di atas tanah yang dulu milik mereka sendiri.
Orang mBatu kehilangan kedaulatannya! Meskipun hanya sebagai petani, yang penghasilannya tidak tentu, setidaknya mereka berdaulat atas tanahnya: mau ditanami apa, panen kapan, dipupuk pake apa, mereka berkuasa penuh untuk menentukan. Sekarang, setelah di KTP tertulis pekerjaan: swasta, tapi tidak ada kedaulatan di baliknya. Mereka menjadi buruh di atas tanahnya sendiri.
Tapi wajar juga sih, kalau orang mBatu balapan menjual lahan dan ladangnya. La wong harga tanah di mBatu gak umum. Siapa yang tidak ngiler melihat nol berjejer panjang di buku tabungannya? Tapi sekali lagi, siapa yang menikmati?
Ketika harga tanah dan properti melambung tinggi, siapa yang kuat beli? Sudah pasti orang-orang kaya yang sebenarnya tidak butuh rumah untuk ditinggali. Namanya juga orang kaya, pasti sudah punya rumah to? Mereka beli rumah kan hanya untuk investasi saja. Dibeli tapi tidak ditinggali. Atau beli tanah tapi tidak digarap, dibiarkan terbengkalai atau disewakan. Sedangkan di saat yang bersamaan, semakin banyak orang mBatu yang tidak punya rumah semakin tidak mampu beli karena harga yang terus melambung. Akhirnya mereka harus ngontrak. Ngontrak rumah yang di atas tanah mbah-mbah mereka yang dibeli sama orang-orang kaya tadi.
Mengenaskan!
Jadi, pertanyaannya, orang mBatu, dengan pembangunan kotanya yang menggembirakan ini, sebenarnya semakin makmur atau hanya bermimpi sedang makmur?
Dulu saya sangat mencintai kota kecil ini.
Salam Pekok.
Problem yang rumit. Apa sih arti dan definisi kemakmuran itu? 🙂
LikeLike