Sekolah ala MTs PakIs

Saya kira saya harus menulis malam ini. Kereta tujuan Pekalongan-Malang masih satu jam lagi. Itung-itung beberapa hari ini hp tidak kecipratan sinyal. Malam ini jempol saya akan menari habis-habisan di atas layar sentuh gawai pintar ini.

Adalah pesta rutin tahunan pengamat burung Indonesia (PPBI) yang ke-9, yang membawa saya sampai tanah ngapak ini. Ngapak adalah istilah umum untuk menyebut logat bicara masyarakat plat R dan G. Saya selalu suka ngobrol dengan orang ngapak, karena selalu ada kosakata baru di setiap perbincangan. Mereka adalah orang lucu dan ramah. Dalam arti yang sebenarnya!

Secara psikologis, saya meyakini, logat ngapak lahir dari sebuah akulturasi budaya saling menghormati, rendah hati, suka mengalah dan tidak neko-neko dari sebuah komunitas spesifik yang kecepit di antara dua suku besar: Jawa dan Sunda. Saya sempat nggumun saat sejenak mampir istirahat di kampung nelayan segara anakan, kabupaten Cilacap. Waktu itu ada mobil yang tidak bisa keluar dari parkirannya karena pintu pagar terlalu sempit. Saya juga bingung tadi gimana parkirnya? Mobil itu parkir di pekarangan rumah tetangga dimana di pemilik mobil bertamu. Tahu si sopir kesusahan mengeluarkan mobil, tanpa pikir panjang si pemilik rumah langsung membongkar pagar yang terbuat dari bambu itu. Padahal jelas-jelas dia tidak punya urusan sama si pemilik mobil. Cuk sangar tenan!

Kembali ke PPBI IX. Saya sedang tidak ingin membicarakan acara tahunan ini. Apalagi burung-burungnya yang konon punya ilmu sakti bisa ngilang tiba-tiba kalau dilihat orang asing. Hal yang menarik perhatian saya tidak lain adalah gedung yang saya tiduri selama 3 malam di sana.

Itu adalah gedung bantuan gak tahu dari mana datangnya. Di dalamnya, digunakan anak-anak desa tidak mampu bersekolah. Sekolah itu bernama MTs Pakis. Saya bingung dengan nama Pakis. Karena sekolah itu berdiri di atas desa yang bernama Gunung Lurah. Gak ada nyambung-nyambungnya. Saya curiga Pakis berasal dari kata “Pak Is”. Is adalah panggilan singkat dari Ishrodin. Dia adalah pusaran di sekolah ini. Bukan guru apalagi kepala sekolah, hanya sebuah pusaran. Lalu, lama kelamaan lidah warna Gunung Lurah memudahkan pengejaan menjadi pakis.

Pak Is dan anak-anaknya

Tentang sekolahan ini. Seandainya sampeyan orang desa, atau pernah lama tinggal di desa. Anda akan sangat paham arti kata “tidak mampu”. Banyak orang, dan itu sah-sah saja, berpendapat bahwa sumber kemiskinan adalah karena malas dan bodoh. Tapi bagi saya, ketika membicarakan sosiologi orang desa, tidak ada namanya orang malas dan bodoh.

Orang desa, apalagi masyarakat agraris, adalah tipe manusia pekerja keras. Kalau sampeyan berjabat tangan dengan orang-orang itu, melalui sentuhan telapak tangannya yang keras dan kasar cukup menjadi bukti betapa kerasnya hidup mereka.

Kalaupun toh jika pada akhirnya masyarakat desa tidak mampu mengimbangi kemajuan ilmu pengetahuan modern, bukan berarti karena mereka yang menginginkannya. Saya kira tidak ada orang yang sudah tahu susahnya bertahan hidup masih mau dilanda kebodohan. Biaya sekolah dan sulitnya mengakses lahan pendidikan formal bagi saya adalah masalah utama kenapa banyak orang “bodoh” di desa-desa di bawah gunung, di pulau-pulau kecil atau di pedalaman.

Nah, dari titik inilah Pak Is menarik garis tegas tentang arti sebuah pendidikan. Sebuah laku belajar yang tidak mungkin bisa sampeyan temukan di sekolah formal manapun di Negeri ini.

Bahwa pendidikan itu adalah bagaimana menyiapkan anak didik supaya siap menjalani takdirnya. Tidak cukup sampai di situ, bahkan kalau perlu, atas persetujuan Allah, mampu mengubah takdirnya!

Bahwa pendidikan itu harus semurah mungkin, kalau tidak bisa gratis. Bahwa pendidikan itu bukan pabrik pencetak mesin-mesin kapitalisme. Bahwa pendidikan itu tidak harus diukur dengan rapor, IPK atau ijazah. Bahwa ukuran keberhasilan pendidikan tidak harus ditengarai mau bekerja apa nanti lulusananya, mau jadi direktur apa, menguasai berapa bahasa, masuk perguruan tinggi apa. Dan seterusnya. Karena di atas ilmu pengetahuan ada kearifan. Dan itu tidak ada mata pelajarannya dan kurikulumnya.

Bahwa proses belajar mengajar bukan sekedar gugur kewajiban guru memenuhi jadwal kurikulum. Bukan sekedar transfer ilmu guru ke murud. Bahwa anak umur sekian gak harus bisa ini itu. Apalagi ngomongin akreditasi, berapa kali juara olimpiade, grup drum band, dan seambrek recehan-recehan duniawi lainnya.

Pak Is tahu bahwa pendidikan terbaik adalah membiarkan anak didiknya mengidentifikasi kebutuhannya sendiri. Lalu, berlahan-lahan menemani mereka merumuskan formula terbaik untuk mencapai apa yang terbaik untuk masa depannya. Saya kira hanya itu satu-satunya mata pelajaran di sekolahan ini.

Dan kereta yang tumpangi sudah keluar dari stasiun Semarang. Ngomongin bab sekolahan di negeri yang bingung ini, kalau diteruskan tidak akan cukup sepanjang apapun rel dibentang. Mata saya juga mulai menunjukkan gelagat bosan melihat layar gawai.

Semoga sekolah MTs PakIs bisa kuat beristiqomah dengan pilihannya. Saya tahu, bahwa mereka tahu bahwa mereka adalah unik dan spesial. Alasan yang cukup untuk membuat mereka disanjung dan dihujani tepuk tangan. Semoga pujian dan sertifikat-sertifikat yang menempel di dinding sekolahan tidak membuat mereka lupa diri. Bahwa satu-satunya yang boleh menakar niat tulus mereka hanya Allah. Yang bisa mengukur keberhasilan model pendidikannya hanya anak-anak yang bersekolah itu, nanti saat mereka kembali ke masyarakat. Bukan menteri pendidikan, bukan kepala dinas, bukan tim akreditasi, bukan rektor kampus, bukan wartawan, bahkan juga bukan Pak Is, apalagi peserta PPBI IX!

6 november 2019
Di atas kereta Matarmaja yang suka berhenti

One thought on “Sekolah ala MTs PakIs

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s