Tag: islam

Mistisisme Sains Modern

Sadar gak, bahwa sebagai manusia modern (yang mengakui dirinya generasi rasionalis) dalam keseharian kita masih percaya dengan klenik? Tidak hanya percaya, bahkan “menyerahkan” hidup kita kepadanya? Tidak sedikit pula yang mentuhankan! Ya, kita semua! All of us! No exception!

Di saat yang bersamaan. Kita mengutuk keklenikan yang lain!

Ghaib, kalau saya rangkum dari berbagai literatur, memiliki definisi: sesuatu yang tersembunyi. Artinya, apapun itu yang di luar jangkauan pengetahuan dan indera kita masuk dalam golongan makhluk ghoib. Entut jelas masuk daftar. Tapi saya tidak sedang membicarakan makhluk mulia yang satu itu. Biarkan dia menjadi rahasia terenak hidup kita.

Ketika seseorang sakit, dia percaya bahwa dokter, resep obat, dan obatnya akan menyembuhkan sakitnya. Tapi ketika dia dibawa ke dukun, orang pintar, tabib, atau apalah namanya, serta merta dia nyinyir sambil mengkutuk “dasar klenik!”. Padahal apa bedanya dukun sama dokter? Apa bedanya obat dengan perewangan si dukun? (more…)

Menakar Islam dan Indonesia, Bisakah?

Kejadian ini begitu kebetulan dan beruntun. Berawal dari salah satu blog yang saya follow, dia me-reblog sebuah tulisan menarik berjudul How Islamic are Islamic Country? Si penulis yang sudah malang-malang megung dari benua Asia sampai Eropa bercerita tentang pengalaman sosialnya hidup di negara yang berlabel muslim dan saat dia menetap di negara barat yang notabene muslim adalah agama minoritas. Tulisan yang sangat mengalir ini seakan-akan memaksa saya untuk mengambil selangkah ke belakang lalu bertanya, “Apa itu Islam? Apa itu negara Islam? Politik Islam? Ekonomi Islam” dan lain sebagainya. (more…)

Untung Allah Bukan Syiah

Allah itu luar biasa! Beliau meminang seorang utusan yang juga luar biasa, kekasih tercinta Muhammad. Dan Islam, satu-satunya agama yang diridhoi oleh Allah yang disebarkan oleh Muhammad juga luar biasa! Tidak ada yang luput dalam ajaran Islam, mulai mengatur politik dan ekonomi volume negara yang complicated sampai bagaimana posisi jari memegang gelas saat minum semua diatur dengan sangat sistematis dan teratur dalam Islam. Islam itu besar! Bahkan sangat besar! Lebih luas dari alam semesta!

(more…)

Ramadhannya NU (apakah) Ramadhannya Muhammadiyah (juga?)

“Posone mulai kapan, Cak ? (Puasanya mulai kapan, Mas?)” Tanya seorang ibu kepada bapak-bapak di sebuah warung di dekat pos Baluran.

“Ketoke Rabu, Yuk.(Sepertinya Rabu, Mbak)”  Jawab bapak itu.

“Bareng ta awake dewe karo Muhammadiyah? (Bersamaan ya kita sama Muhammdiyah?)” Tanya si ibu lebih lanjut. Awake dewe yang dimaksud adalah merujuk ke NU. Di tempat saya bekerja, Situbondo, seperti halnya di tempat lain di Jawa Timur, NU diibaratkan Islam itu sendiri. Bahkan mereka banyak yang tidak sadar kalau mereka itu orang NU karena saking include-nya NU dalam kehidupan keberagamaan mereka. Jadi kalau anda gak bisa  baca doa qunut jangan coba-coba jadi imam sholat shubuh kalo gak kepingin ditinggal pergi sama jamaah anda.

“Ketoke bareng, Yuk.(Sepertinya bareng, Mbak)” Jawab si bapak lagi.

“Yo syukurlah lek posone bareng, mugo-mugo riayane yo bareng.(Ya syukurlah kalau puasanya bareng, semoga lebarannya juga bisa bareng)” Lanjut si ibu menutup rangkaian pertanyaannya.

Kalimat terakhir dari si ibu menggambarkan betapa masyarakat Islam di Indonesia itu seperti pelanduk di tengah-tengah perkelahian dua gajah. Saya sangat yakin sebagian besar umat Islam di Indonesia sangat tidak tahu-menahu masuknya bulan Ramadhan dan Syawal kenapa sering terjadi perbedaan selain dikotomi NU-Muhammadiyah. Dan mereka yang tidak tahu-menahu itu pada akhirnya ya ngikut saja sama corong masjid terdekat di kampung mereka. Kalau di masjid kampung mereka sudah pada ramai anak-anak membaca syi’ir yang tidak lain adalah bacaan niat berpuasa sebelum sholat isya’ itu artinya besok sudah puasa. Atau kalo sudah terdengar takbiran berarti malam ini mereka harus mempersiapkan baju-baju baru untuk sholat Id besok pagi.

Yang menjadi masalah adalah bagaimana proses pendewasaan keberagamaan pendapat dalam Islam di Indonesia bisa berjalan dengan baik. Sebelum corong masjid kampung si ibu tadi menyuarakan syi’ir atau takbiran, entah melalui mekanisme tafsir yang seperti apa, analisa ijtihad, simbiosis kebudayaan atau bahkan proses politik seperti apa, perbedaan masuk bulan Ramadhan dan Syawal ini seharusnya bukan hanya menjadi milik elit agama dari kedu kubu yang selama ini “bertikai”.

Dulu waktu saya masih kecil dan masih suka tidur di masjid selama bulan puasa, ketika memasuki injury time menjelang Syawal adalah saat-saat paling mendebarkan. Mendebarkan pertama karena sebentar lagi lebaran yang artinya baju baru dan uang saku melimpah ruah. Mendebarkan kedua ya pas menunggu kapan mulai takbirannya, sudah dipastikan begitu menjelang maghrib atau jam 3 malam bahkan sebelum orang mau sahur hari terakhir.
Waktu itu kalau gak salah saya kelas 1 SMA dimana penentuan 1 syawal tahun itu diputuskan jam 2 malam, dan saya bersama anak-anak memang sengaja tidak tidur karena ingin memastikan bahwa lebaran adalah besok (berarti besok gak usah puasa hehehe) karena sejak tadi sore Masjid At-Taqwa sudah membunyikan takbiran. Sayup-sayup terdengar suara takbiran di masjid jami’ kota Batu, Masjid An-Nur. Begitu mendengar suara takbiran dari masjid “induk” spontan beberapa orang tua langsung memerintahkan kita untuk menyetel kaset takbiran. Masjid An-Nur adalah masjid NU sedangkan Masjid At-Taqwa adalah masjid Muhammadiyah.

“La iko Masjid Nur wes takbiran, berarti mene wes riaya. Wes ndang takbiran rek!(Nah itu Masjid Nur sudah takbiran, berarti besok sudah lebaran. Cepat segera takbiran!)” begitu kata mereka.

“Sik-sik Dhe, wes ono pengumuman resmi ta? (Tunggu dulu Pakde, apakah sudah ada pengumuman resmi?)” tiba-tiba beberap takmir yang lain menahan.

“Yo wes jelas ta rek, pokoke lek Masjid Nur takbiran berarti yo wes riaya! (Ya sudah jelas lah, pokoknya kalau Masjid Nur takbiran berarti besok sudah lebaran!)” begitu tafsir mereka.

Diam-diam teman saya yang bernama Tonyeh berbisik  sambil bertanya kepada saya, “Masjid Nur iku lak NU se? (Masjid Nur itu NU kan?)”

Spontan saya jawab, “Iyo ketoke. (Sepertinya begitu.)”

Lalu temen saya melanjutkan, “Yo wes, lek Masjid Nur iku NU berarti bener mene wes riaya! (Ya sudah, kalau Masjid Nur benar NU berarti betul besok lebaran!)”

“La kok iso? (Kok bisa?)” balas saya bertanya.

“La awakedewe lak yo NU ta, lek Masjid Nur takbiran berarti awakedewe yo kudu takbiran. Kown duduk NU ta? (Kita kan juga NU, kalau Masjid Nur takbiran berarti kita juga harus takbiran. Kamu bukan NU apa?)” jelas dia sambil membalas dengan pertanyaan yang demi Allah sampai sekarang saya masih belum tahu jawabannya.

Di luar bisik-bisik saya dengan temen saya Tonyeh tadi. Berlangsunglah perdebatan di antara golongan tua, para pengurus takmir masjid dan orang-orang tua yang bukan takmir. Yang satu pihak bersikukuh bahwa kalo Masjid Nur sudah takbiran maka kita sebagai masjid “cabang” otomatis juga harus takbiran, di pihak yang lain tetap ngeyel harus menunggu pengumuman resmi dulu dari PBNU Malang, minimal Batu.

Perdebatan itu panjang sampai membahas fatwanya Muhammadiyah segala sampai akhirnya datanglah Haji Ali, seorang sesepuh masyarakt dan tokoh agama di kampung saya. Beliau datang sambil langsung menyuruh anak-anak segera menyetel kaset takbiran,”Wes rek, setelen takbirane. Wes ono pengumuman resmi! (Ayo anak-anak, putar kaset takbirannya. Sudah ada pengumuman resmi!)” begitu kata beliau.

Tidak langsung beranjak menuju ruang sound system, saya berbisik dulu kepada teman saya Tonyeh tadi sambil bertanya,”Kaji Ali iku NU ta? (Haji Ali itu orang NU ya?)”

“La yo jelas ta, wonge yo NU ndekek iku! (Sudah pasti, dia itu NU tulen!)” jawab dia tegas.

Mendengar jawaban itu langsung saya berdiri ikut teman-teman lainnya nyetel kaset Takbiran.

***

Itulah Indonesia, betapa indahnya keberagamaan di Indonesia. Semoga keindahan itu bisa disempurnakan dengan pendewasaan kepada masyarakat awam tentang perbedaan-perbedaan antara berbagai macam mahzab yang berkembang, yang tentunya, terutama yang diwadahi oleh dua ormas terbesar NU dan Muhammadiyah.

Di Indonesia, Hari Raya bukan hanya pesta religius, bukan sekedar puncak ekstasi ruhiah tapi juga sudah menjadi pesta budaya. Mungkin tidak ada selain di Indonesia yang namanya Ramadhan diramaikan dengan ronda sahur, tadarus bersama di langgar atau surau-surau. Tidak ada selain di Indonesia yang namanya Idul Fitri dibarengi fenomena mudik, takbir keliling, kupatan, galak gampil (istilah desa saya untuk menyebut anak-anak kecil yang berburu uang saku ke tetangga-tetangga atau saudara) atau sekedar silaturrahhmi ke tetangga-tetangga kampung dan saudara.

Untuk itu, dari dalam lubuk hati saya yang paling dalam, sangat mendambakan para elit agama NU dan Muhammadiyah, ayolah duduk bersama. Lepaskan dulu baju sektoral Anda-anda yang terhormat lalu mencurahkan segala fikir dan hati untuk berijtihad bagaimana seharusnya, menurut Al-Qur’an dan Hadist, menentukan 1 Ramadhan dan 1 Syawal.

Kehidupan kapitalisme yang serba individualistik dan materialisme ini sudah tidak ada sedikitpun yang disisakan untuk sekedar menghibur hati rakyat kecil. Ramadhan dan Lebaran-lah yang bisa menyatukan kita semua dalam suka cita. Bergembira ria mendekatkan diri kepada Allah dan kepada sesama manusia. Dan itu semua tidak perlu dibeda-bedakan mana orang NU mana orang Muhammadiyah. Seluruh umat Islam se-Indonesia sangat rindu kebersamaan di hari yang suci dan penuh suka cita ini. NU-Muhammadiyah adalah organisasi bukan agama. Swiss kecil dan Tonyeh kecil juga tidak perlu lagi berdebat siapa yang NU siapa yang Muhammdiyah untuk mengambil keputusan kapan mau ber-lebaran.

***

Dan bersamaan dengan ini, dari pada saya harus menuh-menuhin inbox anda semua, saya ucapkan Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadhan 1431 H. Semoga Ramadhan kita tahun ini sukses dan layak mendapatkan titel fitri (suci seperti bayi yang baru dilahirkan) di hari lebaran nanti. Minta maaf jika ada khilaf saya kepada anda semua baik yang NU, Muhammadiyah, Hizbut Tahrir, atau siapa saja.

SBY, Dulmatin dan Gelar Kelulusan Fakultas Kehidupan

Dulmatin, panglima teroris yang dihargai oleh Amerika sampai 10 juta dollar itu pun gugur juga. Ada beberapa hal yang menganjal di otak saya seputar berita kematiannya, yang kalo nggak saya luapkan bisa protes dalam wujud kukul atau udun.

1. Saat berita tertembak dan meninggalnya Dulmatin, tidak ada pernyataan resmi dari pemerintah baik Polri maupun Presiden tentang “prestasi” ini. Justru SBY mengumumkannya di Australia, di depan para penguasa negeri tetangga yang sering memanas-manasi Indonesia. Dan jangan lupa, Australia adalah antek-anteknya Amerika, menjadi bagian tunggal yang terus mendukung agresi Israel di tanah Palestina. Bahkan ketika kejahatan perang sudah sebegitu terangnya dilakukan Israel, tetap saja Amerika dan sekutunya mendukung negara zionis itu. Bolehkah saya mengatakan kalo Israel sebenarnya adalah negara teroris ? Teroris yang diakui eksistensinya sebagai negara sah oleh bangsa-bangsa di dunia.

Lalu SBY dengan bangganya mengumumkan keberhasilan polisi Indonesia dalam membekuk teroris, tapi di tanah orang lain. Bahkan dia melewati rakyatnya sendiri yang seharusnya berhak lebih tahu. Jadi pertanyaannya, untuk siapa “prestasi” itu diberikan? Untuk rakyat Indonesia atau untuk bule-bule itu?

SBY telah membantai warganya sendiri untuk mendapatkan pujian dan sanjungan dari negara orang lain. Kebanggaan macam apa itu? Watak pemimpin macam apa itu?

Saya adalah seorang PNS, dan siapapun presidennya, dia adalah atasan tertinggi saya. Kode etik jabatan saya mewajibkan saya untuk mematuhi pimpinan. Ketika bicara jabatan dan tugas negara, saya akan mematuhi semua perintah pimpinan tertinggi saya, karena memang itu tugas saya. Tapi sebagai seorang muslim, sebagai manusia dan sebagai rakyat Indonesia, untuk yang satu ini saya harus jujur mengatakan bahwa saya tidak setuju apa yang dilakukan oleh pimpinan tertinggi saya. Di  balik baju PNS saya, masih ada sesuatu yang harus menjadi pertimbangan di dalam setiap nafas hidup saya.

2. Kenapa sampai mati? Maksudnya kenapa polisi tidak menangkap hidup-hidup Dulmatin yang bahkan ada yang mengatakan kalo pangkatnya dalam jaringan teroris Asia Tenggara jauh lebih tinggi dari Nurdin M. Top? Ada apa? Apakah ada yang disembunyikan?

Padahal dengan menangkap Dulmatin maka akan ada banyak keuntungan yang diperoleh. Kita bisa tahu motif perbuatan mereka. Modus gerakannya. Simpul-simpul jaringannya. Dan masih banyak lagi. Tapi kenapa hal itu tidak dilakukan? Atau memang sudah menjadi agenda utama Polri untuk menghabisi Dulmatin? Lalu pada saat yang bersamaan SBY ada di Australia untuk mendapat pujian. Meskipun, sekali lagi, saya tidak menganggap itu sebagai sebuah pujian, tapi sebuah aib di wajah presiden. Lha wong rakyat Indonesia biasa-biasa saja kok, ngapain SBY mengemis-ngemis pujian dari orang lain? Dan, sialnya lagi, presiden adalah sebuah simbol negara. Tercoreng muka presidennya, tercoreng pula wajah seluruh negeri ini!

Berdasarkan kesaksian warga yang melihat langsung proses penggerebekan, tidak satupun mengatakan bahwa ada perlawanan berarti dari Dulmatin cs. Bahkan ketika salah seorang anggota Dulmatin tersungkur dari sepeda motor, lalu digerebek polisi, dia tidak melawan dengan senjata api, hanya berusaha melawan dengan tangan kosong, tapi tetap saja polisi menembak kepalanya dari jarak dekat.

Saya memang tidak sepakat, sangat tidak sepakat, tentang cara-cara terorisme dalam menjalankan aksinya dan mungkin begitu juga hampir semua rakyat Indonesia. Bagaimanapun juga terorisme harus dihabisi. Cara-cara di luar kepantasan sebagai makhluk beradab, segala bentuk terorisme harus dilawan. Untuk itu, Dulmatin cs. harus dihabisi. Dulmatin harus tidak bisa memberi kesaksian untuk merubah stigma negatif dunia tentang apa itu teroris (seperti apa yang didefinisikan oleh Barat). Dulmatin tidak boleh ambil bicara bahwa yang mereka lakukan sebenarnya tidak lebih karena reaksi ketidakadilan para penguasa, bahwa yang apa yang mereka lakukan adalah untuk mendukung gerakan anti penindasan penguasa lalim di Philipina, misalnya. Bahwa apa yang mereka lakukan adalah untuk melawan gerakan terorisme yang sebanarnya, terorisme yang dilakukan oleh sebuah negara “sah” bernama Israel yang didukung oleh negara-negara kuat yang salah satunya adalah Australia. Apa benar Dulmatin yang merencanakan Bom Bali? Kalau semua itu baru seputar tuduhan, isu yang belum terbukti yang akan terus dijaga sebagai isu. Maka Dulmatin harus mati!

3. SBY, KIB II dan Demokrat sudah tercoreng habis-habisan mukanya akibat skandal Century. Apakah sebegitu liciknya politik negeri ini hanya demi mengalihkan perhatian publik dari skandal Century lalu Pemerintah membuat skenario drama The End of Dulamtin? Atau sekedar hanya untuk memperbaiki citra, mereka menghabisi rakyatnya sendiri.

Terlepas dari apa itu teroris, siapa itu SBY, siapa itu Israel, atau hubungannya dengan Century dan bagaimana pandangan Anda terhadap itu semua. Barusan saya lumayan terhenyak membaca berita di www.jakartapress.com: “Saya dengar dari kawan-kawan di sana yang melihat jenazah Dulmatin. Baunya wangi dan darah masih mengalir. Kenapa demikian, itu membuktikan dia bukan teroris. Sebab kalau teroris, lima menit setelah mati pasti busuk,” kata Ba’asyir.

Duh Gusti… kematian, yang baru saja saya sadari, ternyata bukan petaka. Kematian adalah sebuah… fasilitas, metode dan ilmu tertinggi yang diberikan kepada manusia untuk menyempurnakan kuliah di fakultas kehidupan. Dan di saat hari wisuda itu, saat para tetangga dan handai taulan datang menghadiri acara akbar itu, Allah dengan caranya sendiri akan mengumumkan gelar kelulusan masing-masing wisudawan-Nya.