Tag: ramadhan

Ramadhannya NU (apakah) Ramadhannya Muhammadiyah (juga?)

“Posone mulai kapan, Cak ? (Puasanya mulai kapan, Mas?)” Tanya seorang ibu kepada bapak-bapak di sebuah warung di dekat pos Baluran.

“Ketoke Rabu, Yuk.(Sepertinya Rabu, Mbak)”  Jawab bapak itu.

“Bareng ta awake dewe karo Muhammadiyah? (Bersamaan ya kita sama Muhammdiyah?)” Tanya si ibu lebih lanjut. Awake dewe yang dimaksud adalah merujuk ke NU. Di tempat saya bekerja, Situbondo, seperti halnya di tempat lain di Jawa Timur, NU diibaratkan Islam itu sendiri. Bahkan mereka banyak yang tidak sadar kalau mereka itu orang NU karena saking include-nya NU dalam kehidupan keberagamaan mereka. Jadi kalau anda gak bisa  baca doa qunut jangan coba-coba jadi imam sholat shubuh kalo gak kepingin ditinggal pergi sama jamaah anda.

“Ketoke bareng, Yuk.(Sepertinya bareng, Mbak)” Jawab si bapak lagi.

“Yo syukurlah lek posone bareng, mugo-mugo riayane yo bareng.(Ya syukurlah kalau puasanya bareng, semoga lebarannya juga bisa bareng)” Lanjut si ibu menutup rangkaian pertanyaannya.

Kalimat terakhir dari si ibu menggambarkan betapa masyarakat Islam di Indonesia itu seperti pelanduk di tengah-tengah perkelahian dua gajah. Saya sangat yakin sebagian besar umat Islam di Indonesia sangat tidak tahu-menahu masuknya bulan Ramadhan dan Syawal kenapa sering terjadi perbedaan selain dikotomi NU-Muhammadiyah. Dan mereka yang tidak tahu-menahu itu pada akhirnya ya ngikut saja sama corong masjid terdekat di kampung mereka. Kalau di masjid kampung mereka sudah pada ramai anak-anak membaca syi’ir yang tidak lain adalah bacaan niat berpuasa sebelum sholat isya’ itu artinya besok sudah puasa. Atau kalo sudah terdengar takbiran berarti malam ini mereka harus mempersiapkan baju-baju baru untuk sholat Id besok pagi.

Yang menjadi masalah adalah bagaimana proses pendewasaan keberagamaan pendapat dalam Islam di Indonesia bisa berjalan dengan baik. Sebelum corong masjid kampung si ibu tadi menyuarakan syi’ir atau takbiran, entah melalui mekanisme tafsir yang seperti apa, analisa ijtihad, simbiosis kebudayaan atau bahkan proses politik seperti apa, perbedaan masuk bulan Ramadhan dan Syawal ini seharusnya bukan hanya menjadi milik elit agama dari kedu kubu yang selama ini “bertikai”.

Dulu waktu saya masih kecil dan masih suka tidur di masjid selama bulan puasa, ketika memasuki injury time menjelang Syawal adalah saat-saat paling mendebarkan. Mendebarkan pertama karena sebentar lagi lebaran yang artinya baju baru dan uang saku melimpah ruah. Mendebarkan kedua ya pas menunggu kapan mulai takbirannya, sudah dipastikan begitu menjelang maghrib atau jam 3 malam bahkan sebelum orang mau sahur hari terakhir.
Waktu itu kalau gak salah saya kelas 1 SMA dimana penentuan 1 syawal tahun itu diputuskan jam 2 malam, dan saya bersama anak-anak memang sengaja tidak tidur karena ingin memastikan bahwa lebaran adalah besok (berarti besok gak usah puasa hehehe) karena sejak tadi sore Masjid At-Taqwa sudah membunyikan takbiran. Sayup-sayup terdengar suara takbiran di masjid jami’ kota Batu, Masjid An-Nur. Begitu mendengar suara takbiran dari masjid “induk” spontan beberapa orang tua langsung memerintahkan kita untuk menyetel kaset takbiran. Masjid An-Nur adalah masjid NU sedangkan Masjid At-Taqwa adalah masjid Muhammadiyah.

“La iko Masjid Nur wes takbiran, berarti mene wes riaya. Wes ndang takbiran rek!(Nah itu Masjid Nur sudah takbiran, berarti besok sudah lebaran. Cepat segera takbiran!)” begitu kata mereka.

“Sik-sik Dhe, wes ono pengumuman resmi ta? (Tunggu dulu Pakde, apakah sudah ada pengumuman resmi?)” tiba-tiba beberap takmir yang lain menahan.

“Yo wes jelas ta rek, pokoke lek Masjid Nur takbiran berarti yo wes riaya! (Ya sudah jelas lah, pokoknya kalau Masjid Nur takbiran berarti besok sudah lebaran!)” begitu tafsir mereka.

Diam-diam teman saya yang bernama Tonyeh berbisik  sambil bertanya kepada saya, “Masjid Nur iku lak NU se? (Masjid Nur itu NU kan?)”

Spontan saya jawab, “Iyo ketoke. (Sepertinya begitu.)”

Lalu temen saya melanjutkan, “Yo wes, lek Masjid Nur iku NU berarti bener mene wes riaya! (Ya sudah, kalau Masjid Nur benar NU berarti betul besok lebaran!)”

“La kok iso? (Kok bisa?)” balas saya bertanya.

“La awakedewe lak yo NU ta, lek Masjid Nur takbiran berarti awakedewe yo kudu takbiran. Kown duduk NU ta? (Kita kan juga NU, kalau Masjid Nur takbiran berarti kita juga harus takbiran. Kamu bukan NU apa?)” jelas dia sambil membalas dengan pertanyaan yang demi Allah sampai sekarang saya masih belum tahu jawabannya.

Di luar bisik-bisik saya dengan temen saya Tonyeh tadi. Berlangsunglah perdebatan di antara golongan tua, para pengurus takmir masjid dan orang-orang tua yang bukan takmir. Yang satu pihak bersikukuh bahwa kalo Masjid Nur sudah takbiran maka kita sebagai masjid “cabang” otomatis juga harus takbiran, di pihak yang lain tetap ngeyel harus menunggu pengumuman resmi dulu dari PBNU Malang, minimal Batu.

Perdebatan itu panjang sampai membahas fatwanya Muhammadiyah segala sampai akhirnya datanglah Haji Ali, seorang sesepuh masyarakt dan tokoh agama di kampung saya. Beliau datang sambil langsung menyuruh anak-anak segera menyetel kaset takbiran,”Wes rek, setelen takbirane. Wes ono pengumuman resmi! (Ayo anak-anak, putar kaset takbirannya. Sudah ada pengumuman resmi!)” begitu kata beliau.

Tidak langsung beranjak menuju ruang sound system, saya berbisik dulu kepada teman saya Tonyeh tadi sambil bertanya,”Kaji Ali iku NU ta? (Haji Ali itu orang NU ya?)”

“La yo jelas ta, wonge yo NU ndekek iku! (Sudah pasti, dia itu NU tulen!)” jawab dia tegas.

Mendengar jawaban itu langsung saya berdiri ikut teman-teman lainnya nyetel kaset Takbiran.

***

Itulah Indonesia, betapa indahnya keberagamaan di Indonesia. Semoga keindahan itu bisa disempurnakan dengan pendewasaan kepada masyarakat awam tentang perbedaan-perbedaan antara berbagai macam mahzab yang berkembang, yang tentunya, terutama yang diwadahi oleh dua ormas terbesar NU dan Muhammadiyah.

Di Indonesia, Hari Raya bukan hanya pesta religius, bukan sekedar puncak ekstasi ruhiah tapi juga sudah menjadi pesta budaya. Mungkin tidak ada selain di Indonesia yang namanya Ramadhan diramaikan dengan ronda sahur, tadarus bersama di langgar atau surau-surau. Tidak ada selain di Indonesia yang namanya Idul Fitri dibarengi fenomena mudik, takbir keliling, kupatan, galak gampil (istilah desa saya untuk menyebut anak-anak kecil yang berburu uang saku ke tetangga-tetangga atau saudara) atau sekedar silaturrahhmi ke tetangga-tetangga kampung dan saudara.

Untuk itu, dari dalam lubuk hati saya yang paling dalam, sangat mendambakan para elit agama NU dan Muhammadiyah, ayolah duduk bersama. Lepaskan dulu baju sektoral Anda-anda yang terhormat lalu mencurahkan segala fikir dan hati untuk berijtihad bagaimana seharusnya, menurut Al-Qur’an dan Hadist, menentukan 1 Ramadhan dan 1 Syawal.

Kehidupan kapitalisme yang serba individualistik dan materialisme ini sudah tidak ada sedikitpun yang disisakan untuk sekedar menghibur hati rakyat kecil. Ramadhan dan Lebaran-lah yang bisa menyatukan kita semua dalam suka cita. Bergembira ria mendekatkan diri kepada Allah dan kepada sesama manusia. Dan itu semua tidak perlu dibeda-bedakan mana orang NU mana orang Muhammadiyah. Seluruh umat Islam se-Indonesia sangat rindu kebersamaan di hari yang suci dan penuh suka cita ini. NU-Muhammadiyah adalah organisasi bukan agama. Swiss kecil dan Tonyeh kecil juga tidak perlu lagi berdebat siapa yang NU siapa yang Muhammdiyah untuk mengambil keputusan kapan mau ber-lebaran.

***

Dan bersamaan dengan ini, dari pada saya harus menuh-menuhin inbox anda semua, saya ucapkan Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadhan 1431 H. Semoga Ramadhan kita tahun ini sukses dan layak mendapatkan titel fitri (suci seperti bayi yang baru dilahirkan) di hari lebaran nanti. Minta maaf jika ada khilaf saya kepada anda semua baik yang NU, Muhammadiyah, Hizbut Tahrir, atau siapa saja.